Dokter Jangan Hanya Menunggu Orang Sakit di Poliklinik
OLEH : TITIK ANDRIYANI, JakartaSenin, 09 November 2009 – 05:10 WIB
Kiprah Abdul Moelek di dunia kedokteran dimulai saat lulus kuliah pada masa pendudukan Jepang. Ketika itu, tentara Jepang memiliki misi membunuh para intelektual Indonesia. Beberapa dokter menjadi korban. Moeloek pun tak ingin mati sia-sia. Dia lantas memutuskan hijrah ke Semarang. Di kota itu dia menjadi salah seorang tenaga medis di RS dokter Karyadi. Moeloek hanya beberapa tahun menetap di Semarang. Setelah itu, dia memutuskan mengasingkan diri di Desa Winong, Kota Liwa, Lampung Barat.
Di kota kecil itulah Farid lahir. Yaitu, pada 1944. Selama bersembunyi di kota itu, Moeloek mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil. Sedangkan istrinya menjadi guru dan mengajari masyarakat sekitar. Tak urung, keluarga Moeloek amat disegani dan dituakan di kota tersebut. "Ayah saya memiliki banyak anak angkat. Lama tinggal di Lampung, sampai sekarang saya pun merasa sebagai orang Lampung," ungkap Farid.
Ketika Indonesia merdeka, keluarga Moeloek memutuskan hijrah lagi ke Tanjung Karang, Lampung. Di kota itu Moeloek mengambil alih pengelolaan RS Tanjung Karang dari tentara Jepang. Kemudian, Moeloek ditunjuk sebagai kepala rumah sakit itu. Setelah wafat pada 1973, DPRD Lampung sepakat menamai RS Tanjung Karang dengan nama RS dr H Abdul Moeloek. Hal itu dilakukan untuk menghormati dedikasi dan jasa Moeloek bagi masyarakat Lampung.