DPR: Respons Pemimpin Dunia Soal Covid-19 Pada Awal 2020 Sangat Beragam
Oleh: Ramson Siagian, Anggota Komisi XI DPR RIMemang sekitar pada 1930-an terjadi great depression di Amerika Serikat dan bertahap dapat diatasi pada zaman Pemerintahan Presiden Franklin Roosevelt yang didukung oleh teori teori pemikir ekonomi John Maynard Keynes.
Selesainya reses DPR RI pada pertengahan Maret 2020, Komisi XI DPR RI secara resmi memberikan respons dengan segera melakukan rapat rapat virtual dengan Menteri Keuangan, Gubernur BI, OJK, LPS juga BPS, dan juga dengan perbankan, serta Kadin, dan lain lain yang terkait.
Di rapat rapat virtual dengan Komisi XI, Menteri Keuangan antara lain menjelaskan untuk mencegah agar krisis ekonomi dan keuangan tidak terlalu mendalam sebagai akibat dampak covid-19, Pemerintah memberikan stimulus ke-3 (istilah Menkeu) dengan anggaran sebesar sekitar Rp 405, 1 Triliun.
Perincian anggaran stimulus tersebut, untuk kesehatan Rp 75 triliun, dukungan industri Rp 70,1 triliun, dukungan dunia usaha Rp 150 triliun, dan untuk social safety net Rp 110 triliun (terdiri dari jaring pengaman sosial Rp 65 triliun, cadangan pemenuhan pokok dan operasi pasar/logistik Rp 25 triliun dan penyesuaian anggaran pendidikan untuk penanganan covid Rp 20 trilun).
Total stimulus sekitar Rp 405,1 triliun atau sekitar 2,5% dari PDB. Sekaligus Menkeu juga menjelaskan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di thn 2020 dengan skenario berat sekitar 2,3% dan skenario sangat berat sekitar -0,4% atau minus 0,4%.
Usulan Cetak Uang
Dalam proses rapat rapat virtual tersebut, memang timbul berbagai kekhwatiran akan kelanjutan ekonomi nasional. Ada anggota Komisi XI DPR RI dengan berbagai argumentasi yang mendesak agar BI melakukan Quantitative Easing (QE) dengan mencetak uang untuk masuk membeli Surat Utang Negara dipasar primer.
Di publik juga ada anggota Komisi XI DPR RI dengan mengemukakan perlu segera mencetak uang, ada yang menyebut Rp 600 Triliun. Ada yang mengikuti opini publik yang disampaikan salah satu pimpinan Kadin agar BI melakukan Quantitative Easing dengan mencetak uang sekitar Rp 1.600 Triliun.