Dua Jam Jalan Kaki atau Tinggal di Pondokan Darurat
Sabtu, 26 September 2009 – 10:00 WIB
Arsenius menuturkan, jika sudah seperti itu, rata-rata anak-anak memilih untuk bekerja. Mereka bekerja apa saja. Misalnya, membantu warga melaut atau membantu orang-orang mengangkat barang di pelabuhan. "Jika beruntung, mereka mendapatkan bantuan sejumlah makanan dari pemilik tanah tempat pondokan," ujarnya.
Risiko menjadi anak pondokan tidak cukup di situ saja. Menurut Arsenius, suasana belajar menjadi sangat terbatas. Memasuki malam, pondokan mereka gelap gulita. Semua pondokan tidak dialiri satu watt pun listrik. Itulah sebabnya, anak-anak pondokan harus memiliki inisiatif jika ingin sungguh-sungguh belajar. "Kalau yang niat belajar, mereka membeli lampu tempel buat penerangan atau menumpang di teman yang punya rumah. Setiap rumah sudah ada listrik," tuturnya.
Rata-rata yang memiliki pondokan adalah siswa yang sudah menginjak SMP dan SMA. Mereka yang masih duduk di bangku SD biasanya dititipkan di sekolah masing-masing. Seperti halnya di sebuah SD di Sikakap. SD itu menyediakan ruang bekas kepala sekolah sebagai tempat tinggal anak-anak pondokan dari SD. Sama dengan yang senior, mereka yang masih belia itu juga harus belajar mandiri.