Dua Tahun Reformasi Kepabeanan dan Cukai, Ini Hasilnya
jpnn.com, JAKARTA - Program Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai genap memasuki tahun keduanya. Program yang mulai dicanangkan pada Desember 2016 oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati bertujuan untuk meningkatkan performa Bea Cukai di berbagai lini baik dari segi pengawasan maupun pelayanan.
Selain itu, tujuan dari pelaksanaan reformasi ini adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik serta menjadikan Bea Cukai sebagai institusi yang akuntabel dan kredibel.
Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi menyampaikan progress dan program PRKC dalam sarasehan yang diadakan pada Jumat (21/12) di Kantor Pusat Bea Cukai.
Dalam dua tahun perjalannya berbagai capaian telah diraih oleh DJBC melalui program ini.
“Program ini mengusung lima tema besar perubahan di antaranya penguatan integritas dan budaya, optimalisasi penerimaan, perluasan fasilitasi, efisiensi pelayanan, dan efektivitas pengawasan. Dari kelima pilar reformasi besar tersebut Bea Cukai terus berupaya melakukan perbaikan untuk menjadi institusi yang semakin kredibel,” ungkap Heru.
Dari segi penguatan integritas dan budaya Bea Cukai menerapkan beberapa program di antaranya penguatan sikap dasar pegawai dengan jargon KLIK-Jujur (Korsa, Loyal, Inisiatif, Korektif, dan Jujur), pembentukan otomasi alert system perilaku pemeriksa, pemetaan unit rawan pelanggaran integritas, serta menggelar pembinaan mental secara nasional dan program coaching, mentoring, dan counselling.
Pencapaian peringkat ketiga, setelah Pemkot Banda Aceh dan Pemkab Badung dalam Survey Penilaian Integritas Tahun 2017 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi juga tidak lepas dari adanya program penguatan reformasi ini.
Dari segi optimalisasi penerimaan, melalui program PRKC Bea Cukai ditargetkan dapat mencapai target penerimaan tahun 2018. “Selain ditargetkan dapat mencapai penerimaan tahun 2018, melalui program ini, tax base atas impor berisiko tinggi mencapai 62%, kenaikan pajak impor berisiko tinggi juga mencapai 41% dengan penurunan jumlah impor berisiko tinggi sebesar 44%.