Dugaan Kecurangan Pemilu Mewarnai Penghitungan Suara, Bisakah Hasilnya Dianulir?
Sebelum pemungutan suara, banyak ditemukan pemimpin daerah memenangkan dan mengarahkan pemilih mencoblos salah satu pasangan.
"Itu dilakukan baik secara tidak langsung melalui pendekatan halus maupun to the point dengan ancaman verbal," kata Okky Madasari, akademisi sekaligus founder OM Institute.
Ia mengatakan pimpinan daerah juga aktif membagikan bahan kebutuhan pokok atau uang tunai dalam lingkup program bantuan sosial dan di beberapa tempat ditemukan ada arahan, bujukan, bahkan pemberian uang dari kepala pesantren terhadap santri mulai dari ratusan ribu rupiah sampai Rp1 juta per orang untuk memilih pasangan calon tertentu.
"Campur tangan otoritas lokal itulah yang kami temukan sebagai salah satu faktor kunci bagi pemilih untuk memutuskan pilihannya. Sebagian besar di TPS itu memenangkan pasangan nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka," tutur Okky.
Ini sejalan dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menemukan adanya ketidaknetralan aparatur negara, mulai kepala desa sampai pejabat gubernur, saat Pemilu 2024.
"Temuan terkait netralitas aparatur negara sangat berhubungan dengan politik uang untuk pemenangan peserta Pemilu tertentu," kata wakil ketua Komisi itu, Pramono Ubaid Tanthowi.
Luki Djani dari Jaga Pemilu mengaku menerima ratusan laporan dugaan pemilu, sekitar 300 di antaranya telah diverifikasi.
Bentuknya bervariasi, mulai dari surat suara di yang sudah tercoblos, sampai dugaan kecurangan setelah pemungutan berupa input data yang berbuntut penggelembungan suara yang menguntungkan salah satu kandidat.