Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (2)
Sabut Kelapa yang Menopang Hidup Para TetanggaKamis, 04 Desember 2008 – 11:39 WIB
Bapak sembilan putra itu pun mengaku, saat tsunami menerjang desanya pada 26 Desember 2004, semua harta jerih payahnya selama 24 tahun hilang dalam sekejap. Rumahnya yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari laut rata dengan tanah. Mobil, gudang, serta perlengkapan kerja hilang tak berbekas. ’’Ludes semua,’’ kenangnya.
Karena semua sudah hilang ditelan tsunami, Jamil dan keluarga pun tinggal di barak penampungan pengungsi. Namun, dia tidak mau terlena hidup di barak yang hanya mengandalkan bantuan serta sumbangan orang lain. Dia sadar, suatu saat akan tiba waktunya bagi para korban tsunami untuk bisa hidup mandiri.
’’Untuk menghidupi sembilan anak saya, tidak cukup hanya mengandalkan bantuan. Itulah yang memotivasi saya segera bangkit,’’ tegasnya.
Dalam keadaan terpuruk, jiwa kewirausahaan Jamil pun memberontak. Maka, dibantu istri dan anak-anaknya, dia pun mencoba kembali bangkit dengan merintis usahanya dari titik nol. ’’Saat itu saya tidak punya modal, sehingga rasanya berat untuk bangkit. Tapi, tekad saya sudah bulat. Harus bangkit,’’ katanya.
Selama setahun Jamil membanting tulang, mencoba membangkitkan industri kesetnya dengan cara produksi manual. Meski tertatih-tatih dan banyak kendala, usaha tersebut terus menuai hasil. Bahkan, Swisscontact, sebuah LSM asal Swiss yang peduli terhadap korban tsunami, bersedia memberi bantuan modal bagi usahanya.
LSM itulah yang membangun kembali gudangnya yang hancur, membelikan mesin perontok, dan memberikan uang untuk modal usaha. ’’Itu titik bangkit usaha saya setelah gelombang tsunami hingga bertahan seperti sekarang,’’ jelasnya.