Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (2)
Sabut Kelapa yang Menopang Hidup Para TetanggaKamis, 04 Desember 2008 – 11:39 WIB
Dengan peralatan yang lebih baik, keset itu tidak hanya ditulisi ’’Welcome’’, tapi juga bisa memenuhi pemesanan khusus. Misalnya, pencantuman nama kantor pemerintah, hotel, bahkan yang bersifat pribadi. ’’Pokoknya, semua permintaan konsumen kami layani,’’ katanya.
Pengolahan sabut kelapa menjadi pintalan-pintalan (semacam tambang kecil) yang siap dijadikan keset dikerjakan para tetangga di rumah masing-masing. Setelah jadi, pintalan-pintalan itu baru disetor ke tempat usaha Jamil. ’’Jadi, para tetangga bisa mengerjakan di rumahnya tanpa mengganggu kesibukannya sebagai ibu rumah tangga,’’ jelas Jamil.
Dia sering berkampanye kepada para korban tsunami agar tidak mudah menyerah. Setidaknya, mereka harus berbuat untuk masa depan anak-anak. Kalau ada usaha, pasti ada jalan. Dia bersyukur keluarganya tetap utuh dalam musibah dahsyat tersebut. ’’Masa depan anak-anak yang memotivasi saya bangkit seperti sekarang,’’ tuturnya.
Seperti Jamil, motivasi untuk membangun masa depan anak itu pula yang membuat Mardiyah, 35, warga Desa Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, bersemangat untuk bangkit.
Akibat gelombang tsunami, rumahnya yang berjarak hanya selemparan batu dari Pelabuhan Meulaboh rata dengan tanah. ’’Sejak itu, saya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain selama lebih dari tiga tahun,’’ ungkapnya.
Berbagai upaya dilakukan Mardiyah dan suami untuk bisa bangkit dari berbagai kesulitan pascatsunami. Keduanya bekerja apa saja, asalkan bisa menghasilkan uang. Termasuk berjualan sayur. ’’Yang penting halal,’’ tegasnya.