Fadli: Banyak Lembaga Survei Merangkap Konsultan, Dibayar, Diam-Diam jadi Predator
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan perkembangan lembaga survei di Indonesia berimpitan dengan institusi konsultan politik. Hal itu memicu conflict of interest.
Fadli menilai, ini merupakan persoalan yang mendasar. “Dia akan menjadikan survei itu sebagai alat propaganda, alat kampanye dari yang meng-hire dia sebagai konsultan politik,” kata Fadli dalam diskusi Survei Pemilu, Realita atau Rekayasa di gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/3).
Dia mengatakan, dalam kenyataannya banyak lembaga survei di Indonesia merangkap menjadi konsultan politik. Bukan sebagai lembaga survei independen. “Dia sebetulnya diam-diam sudah punya kolaborasi dengan salah satu kontestan, apakah itu di pilkada atau pilpres ataukah dengan partai politik,” ujarnya.
Menurut dia, lembaga yang seperti itu mendapat kontrak, dibayar untuk beberapa kali survei. Nah, kata Fadli, terkadang mereka sekaligus juga menjadi konsultan politik. Dia menegaskan bahwa hal inilah yang terkadang membuat lembaga survei, meskipun tidak semuanya, menjadi predator politik.
(Buka dong: Empat Kriteria untuk Mengukur Kredibilitas Lembaga Survei)
“Inilah yang membuat lembaga survei itu sebetulnya bisa menjadi predator demokrasi, predator politik karena mereka ini menjadi mafia survei. Tidak semua ya,” katanya.
Fadli melanjutkan, lembaga survei yang dia maksud itu bukan lagi menciptakan suatu gambaran publik yang sesungguhnya, tetapi apa yang diharapkan oleh yang membayarnya. “Menurut saya, ini bisa membuat lembaga survei ini sebagai mafia-mafia politik dan predator demokrasi. Menurut saya ini membahayakan bagi demokrasi kita,” ujarnya.
Lebih lanjut Fadli juga mempersoalkan masalah metodologi survei. Dia menilai metodologi yang digunakan sudah kuno. Menurut dia, dengan melimpah ruahnya informasi, maka sekarang ini tidak ada lagi dominasi.