Fahri Hamzah: MK Anggap UUD 1945 Masih Executive Heavy
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menyoroti dibatalkannya Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui pesan singkatnya, Wakil Ketua DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) meyakini MK masih menganggap bahwa UUD 1945 itu masih "executive heavy".
"Padahal sejak amandemen ke-4, maka konstitusi kita pindah dari falsafah "concentration of power upon the president", menjadi "check and balances"," kata Fahri.
Politikus PKS itu menambahkan, sejak amandemen UUD ke-4, bangsa ini sudah meninggalkan rezim eksekutif kuat menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan.
"Maka, kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekuensinya sepwrti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi," tegas Fahri.
Sebelumnya, dalam amar putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang dibacakan Hakim MK Anwar Usman disebutkan bahwa mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Pemohon terhadap UU MD3, di mana salah satunya adalah membatalkan kewenangan DPR untuk bisa memanggil paksa seseorang.
Sebagaimana diketahui, kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa ini semula diatur dalam Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) UU MD3. Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian.
Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, kepolisian bisa menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari.