Fahri: Yang Puas Kinerja Jokowi di Bawah 50 Persen
“Nah, problem kepemimpinan kita sekarang ini sama seperti smartphone, tapi sayangnya kapasitas pemimpinnya seperti handphone jadoel. Itu aja cara berfikirnya. Jadi fitur yang dimengerti oleh Jokowi dan kawan-kawannya itu adalah jadoel, karena instrumen-instruennya tidak dipakai. Sementara kita semua ini sudah mengertinya smartphone,” tambahnya lagi.
Satu fitur penting yang tidak dipakai oleh Jokowi yakni pemanfaatan mimbar istana.
Harusnya sebagai presiden, Jokowi memanfaatkan fitur itu untuk berbicara setiap hari kepada bangsa Indonesia, terkait pemasalahan yang dialami negaranya.
“Fitur itu harus dipakai. Karena setiap pagi rakyat itu menunggu apa yang akan dilakukan seorang presiden dan mau dibawa kemana bangsa ini. Tapi tidak dipakai, makanya pemerintah setiap hari seperti orang panik, tidak mengerti harus melakukan apa, sehingga masalah yang lama berulang-ulang,” imbuh Fahri.
Misalnya, fenomena masuknya berton-ton narkoba ke Indonesia, tapi Jokowi sebagai presiden itu tidak ada sense of crisis, tidak memberikan warning kepada pengirim. Bahkan ada hukum mati pun ditunda-tunda.
“Cara berpikir kompleks ini tidak ada dalam kepemimpinan saat ini, dan tim-tim nya juga tidak terlihat memberikan masukan yang benar kepada presiden atau mungkin dikasih masukan nggak masuk-masuk,” sindir Fahri.
Bahkan, menurut anggota DPR dari daerah NTB itu, banyak lagi yang lainnya mengingat demokrasi adalah sistem yang kompleks, di mana di dalamnya ada masyarakat sipil, sosmed, kafe, kelas menengah, masket, kapital market, free sociaty dan seterusnya.
“Itu demokrasi. Tapi kalau otoriterianisme nggak. Pemimpinannya dia, nggak boleh diganggu, dikritik. Apa kata dia, ikuti saja. Itu jadoel. Nah pemimpin kita sekarang, jadoel. Sementara jaman demokrasi ini sudah smartphone,” pungkas Fahri. (adv/jpnn)