Flexing
Oleh: Dhimam Abror DjuraidRealitas digital sangat berbeda, bahkan bertolak belakang, dari realitas sosial yang sesungguhnya.
Dahulu kita mendefinisikan teman sebagai orang-orang yang dekat dalam lingkungan kita. Teman SD, teman kuliah, teman sekampung. Mereka semua kita kenal secara personal sebagai kerabat.
Sekarang, kita punya ribuan teman yang tidak kita kenal dan tidak pernah kita temui sepanjang hidup kita. Itulah teman-teman kita di Facebook dan berbagai aplikasi pertemanan.
Teman-teman digital itu tidak hadir secara fisik, tidak hadir dengan tubuh. Di dunia digital, kita tidak berinteraksi dengan tubuh. Kita hanya dapat membayangkan bagaimana tubuh yang ada di belakang layar screen, melalui display picture atau foto-foto unggahan yang setiap hari terlihat selalu bergembira dan berbahagia.
Gadget dan mouse atau tetikus menjadi sebuah tongkat sihir yang bisa menghadirkan dunia ke hadapan kita. Kita bisa pesan aneka makanan dan minuman dan berbagai barang konsumsi, tanpa harus menggerakkan pantat kita dari tempat duduk.
Kita menonton berbagai film dan pertandingan olahraga dari layar di depan mata. Kita berbincang-bincang dan tertawa-tawa tanpa kata-kata, semuanya diwakili oleh tanda-tanda emoji.
Manusia yang otentik telah hilang diganti manusia digital yang palsu. Kebenaran juga tidak lagi autentik karena sekarang era post-truth dan hoaks. Manusia tidak mengenal sopan santun dan tata krama karena bisa memaki dan menyumpahi siapa saja, kapan saja.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Itu dahulu, ketika manusia Indonesia masih menjadi manusia autentik. Sekarang, di dunia media sosial bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa yang paling kurang ajar di dunia.