Gagal Paham Soal Utang
Di daerah tertinggal, terutama di daerah-daerah Timur Indonesia, Jokowi menargetkan membangun 4.814 km jalan baru. Sekitar 2.000 km di antaranya telah, sedang dan akan dibangun bukan di Jawa atau Sumatera tetapi di titik-titik terluar dan pelosok negeri. Seperti di Kalimantan, Papua, sampai perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pulau Timor. Kalau digabung dengan proyek infrastruktur lainnya, pemerintahan ini punya 24 proyek infrastruktur di Kalimantan, di Sulawesi ada 27 proyek, kemudian di Maluku dan Papua ada sekitar 13 proyek. Proyek-proyek itu baik berupa bendungan, pelabuhan, bandara, hingga pembangkit listrik.
Pembangunan infrastruktur Indonesia periode 2014-2019 butuh Rp 5.000 triliun. Kebutuhan dana tersebut tidak hanya cukup dipenuhi dari APBN. Sebab itu perlu finance engineering yang lebih sophisticated. Maka dibuatlah PINA: Pembiayaan Infrastruktur Non APBN. Kecuali kita hanya ingin negara ini berjalan ditempat seperti negara-negara miskin di Afrika sana, ya tak usahlah membangun.
Ketiga, bisa membangun tanpa ngutang. Siapa sih yang senang ngutang? Kalau bisa membangun tanpa ngutang sih bisa saja. Tapi mau ambil darimana duitnya. Negara kalau cuman ngandalin pajak, matilah. Pajak terlalu ditekan juga sudah bikin daya beli melemah kok. Dulu, penguasa happy sekali. Sebab pemasukan dari sektor energi dan komoditas sudah cukup kuat memberi pemasukan kepada negara. Tapi era minyak dan gas sudah selesai. Investasi di hulu migas mengalami penurunan dari USD 22 miliar pada 2014 menjadi USD 18 miliar di 2015. Dan semakin menukik sebab perut bumi kita makin kering. Pemasukan dari energi untuk APBN pun semakin kecil sekali.
Suka tidak suka, kita harus ngutang untuk menambal anggaran. Kecuali kita tidak ingin membangun. Indonesia sebenarnya bisa saja tidak usah menambah utang atau malah melunasi utangnya sampai nol rupiah dengan APBN yang mencapai Rp 2000 triliunan. Dalam beberapa tahun bisa lunas kok. Namun dengan catatan, pembangunan tidak ada. Tidak usah bermimpi Indonesia jadi negara maju. Papua tetap ketinggalan. Jalan trans Kalimantan tidak usah dibuat. Aceh dibiarkan terlantar. Perbatasan NTT dan Entikong dibiarkan kumuh dan penuh penyamun. Biaya logistik melonjak. Inflasi selangit. Kalau daerah-daerah ini “mengamuk” dan minta merdeka sebab tidak diperhatikan pusat, apa loe mau tanggung?
Sebenarnya, Presiden Jokowi baru ngutang tidak sebanyak yang dibayangin namun sudah dicercah sana-sini. Itupun peruntukkannya sudah jelas sebagaimana dipaparkan diatas. Saat dilantik pada Oktober 2014, Jokowi sudah membawa pulang ke Istananya utang luar negeri sebesar Rp 2.700 triliun, warisan dari rezim-rezim sebelumnya. Jokowi belum ngapa-ngapain saja sudah musti menanggung utang warisan, itu belum termasuk bunga utang sebesar Rp 250 triliun per tahun.
Bila digabung utang dan bunganya selama lima tahun, artinya Jokowi sudah mewarisi beban utang sebesar Rp 3.950 atau hampir Rp 4.000 triliun. Sebelum dicercah, Jokowi sudah tidur diatas utang warisan dan potensi utang Rp 3.950. Sudah berjalan hampir empat tahun, Jokowi baru nguntang sebesar Rp 600 triliun. Itu pun hasilnya sudah jelas untuk membangun infrastruktur, demi menjalankan amanah sila ke lima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tapi segitu saja sudah dicercah sedemikian sadis. Untung, beliau tak cengeng dan suka curhat. Sekali-sekali bisa “mengamuk” memang tapi tetap terukur. (*)