Gajah RK
Oleh: Dahlan IskanBanda Aceh sudah bukan kota sebelum tsunami. Berubah drastis. Jauh lebih maju. Lebih ramai. Lebih tertata. Lebih bersih. Banyak jalan baru. Atau jalan yang diperluas.
Dan, yang jelas, sudah banyak warung kopi. Saking banyaknya sampai Banda Aceh layak disebut sebagai kota "seribu warkop". Atau dua ribu. Datanglah ke Banda Aceh. Hitung sendiri.
Saya ke warkop-warkop itu. Minum kopi apa saja. Termasuk kopi terenak yang disebut syr sanger.
Lalu saya memanfaatkan waktu ke Museum Tsunami Aceh. Maafkan, begitu sering saya ke Aceh, tetapi baru kali ini ke museum itu. Sangat telat. Setelah umur museum 15 tahun –diresmikan Presiden SBY pada 2009.
Begitu sampai di depan museum saya langsung mengagumi desain bangunan ini. Simpel tetapi mengesankan. Modern tetapi klasik.
Jalan masuk museum itu berbentuk lorong. Menurun. Agak gelap. Kanan kiri lorong berupa air dalam kaca yang berombak. Berada di lorong ini seperti berada di dalam laut.
Susana di dalam air itu lebih diperkuat oleh suara gelombang laut di lorong gelap itu, apalagi saat kita menuruni lorong: rintik-rintik air jatuh dari atas. Seperti gerimis. Menjatuhi kepala dan bahu kita. Rambut sedikit basah.
Inilah lorong masuk yang membuat kesan pertama menjadi dramatis. Ada unsur ngeri dan mengharukan.