Ganjar, Puan, dan Kebodohan
Oleh: Dhimam Abror DjuraidBagi Rocky Gerung, munculnya fenomena persaingan banteng vs celeng justru dianggap sebagai kekonyolan politik. Ia bercerita mengenai perbincangannya dengan sejumlah anak-anak milenial yang mengatakan keheranannya dengan munculnya fenomena banteng vs celeng.
Anak-anak milenial itu, klaim Rocky, heran kepada ‘’om yang berambut putih kayak bintang film’’ dan Mbak Puan yang tidak pernah terdengar berbicara mengenai isu-isu terbaru yang tengah menjadi isu global, seperti new kind of economy, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan isu-isu kontemporer yang disebut Rocky sebagai ‘’new grammar of world’s politics’’.
Karena itu, kata Rocky, menaikkan elektabilitas dengan isu-isu seperti banteng vs celeng adalah kekonyolan, karena pada saat bersamaan para pemilih potensial malah menganggap Ganjar dan Puan bodoh.
Berbagai peraturan politik yang diputuskan menjelang pilpres 2024 mendatang--seperti presidential threshold--kata Rocky, menunjukkan bahwa sekarang kekuatan oligarki tengah melakukan ternak politik.
Hanya politisi yang punya tiket parpol saja yang bisa maju menjadi capres. Calon lain yang sebenarnya lebih berkualitas, tidak bisa ikut kompetisi karena tidak punya tiket dan bukan hasil ternak politik oleh kekuatan oligarki.
Lidah tajam Rocky sudah sangat dikenal. Ia tidak pernah segan menggunakan istilah dungu untuk menyebut orang-orang yang dianggapnya tidak bisa berpikir rasional, konseptual, dan proporsional.
Sebutan dungu sudah menjadi trade mark Rocky dalam debat-debat yang dilakukannya di berbagai forum.
Sebutan dungu diarahkan kepada mereka yang tidak mampu berpikir menggunakan logika, dan malah sering melakukan kesalahan-kesalahan ‘’logical fallacies’’ alias salah pikir. Orang yang tidak bisa menggunakan akal sehat, oleh Rocky disebut sebagai dungu.