Gerakan Satu Bangsa: Pemimpin Pancasilais Tidak Diskriminatif
jpnn.com, JAKARTA - Inisiator Gerakan Satu Bangsa, Stafanus Asat Gusma mengatakan ikhtiar bersama untuk membangun semangat toleransi dan kerukunan antarumat beragama kembali diuji dengan munculnya larangan atau pembatasan ibadah perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat.
Meskipun kabarnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah daerah, warga dan para tokoh, namun Gerakan Satu Bangsa memandang kasus ini merupakan bentuk tindakan diskriminatif. Mengapa? Karena terjadi ketidaksetaraan dan perlakuan tidak adil bagi warga negara, sedangkan dalam konstitusi jelas ada kemerdekaan bagi setiap warga negara dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu yang dijamin oleh negara.
“Dari informasi yang diterima Gerakan Satu Bangsa dari tokoh masyarakat dan jaringan pro-demokrasi di Sumatera Barat, kasus ini meninggalkan rasa kecewa dan kesedihan dari umat Kristiani yang ada di sana. Untuk ibadah merayakan Natal mereka harus menempuh jarak kurang lebih 130 km, dan atau beribadah dengan rencana pengamanan dari aparat yang berlebihan,” ujar Gusma sapaan Stefanus Asat dalam pernyataan persnya, Selasa (24/12).
Dalam kasus ini, menurut Gusma, negara belum dirasakan hadir. Pemda seharusnya menjamin hak warganya untuk beribadah. Bahkan secara prosedural administrative Pemda punya kewenangan memberikan jaminan bagi warganya untuk memiliki tempat ibadah.
“Kasus ini bisa jadi preseden buruk ke depannya, apalagi jika ditambah mulai muncul juga tekanan-tekanan dari ormas atau tokoh masyarakat yang ikut-ikutan melarang dan membatasi ibadah perayaan Natal ini dengan pernyataan sikap terbuka mereka,” ujar Gusma.
Menurut Gusma, seharusnya Pemda setempat menyediakaan tempat dan fasilitasnya agar semua warganya bisa mendapatkan hak yang sama untuk beribadah. Apalagi ibadah hari besar agama mereka. Mendagri harus segera turun tangan menginvestigasi pimpinan daerah wilayah tersebut, dan partai-partai pendukung bisa memberikan evaluasi secara objektif kepada kepala daerah tersebut terkait pemahaman kebangsaan dan nasionalismenya.
Lebih lanjut, kata Gusma, Gerakan Satu Bangsa meminta pemerintah untuk tegas dalam menjalankan amanat konstitusi negara yang menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk menjalankan ritual ibadah masing-masing. Jika tidak disikapi dengan tegas maka hanya akan menjadi upaya pembiaran dan makin menyemai perilaku-perilaku diskriminatif dan intoleran, seterusnya dan menjauhkan dari upaya merawat keberagaman.
“Gerakan Satu Bangsa juga mengapresiasi sikap nasionalisme dan inklusif Ketua DPR Puan Maharani yang meminta pemerintah daerah meminjamkan kantor dan fasilitas pemerintah untuk perayaan ibadah keagamaan. Ini pernyataan bahwa negara hadir, namun secara struktural pernyataan Ketua DPR ini harus ditindaklanjuti sebagai bentuk tanggung jawab negara, dari pusat hingga ke daerah,” ujar Gusma.(fri/jpnn)