GMNI: Negara Dalam Krisis Representasi
jpnn.com, JAKARTA - Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Fariz Rifqi Ihsan mengatakan konsolidasi pelembagaan demokrasi Indonesia melalui pemilihan umum (Pemilu) tidak kunjung menemukan jalan keluar. Hal ini terlihat dari pembahasan RUU Pemilu yang masih berkutat pada 5 (lima) krusial. Yakni ambang batas parlemen, ambang batas presiden, alokasi kursi dan besaran daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara.
Sisi lain pembahasan RUU Pemilu, menurut Fariz, terlihat sekali partai politik hanya menawarkan pertimbangan rasional jangka pendek demi merebut suara dan menguntungkan secara elektoral. Sehingga ideologi dan platform politik tidak lagi menjadi pijakan utama dalam berkontestasi dan bernegosiasi.
“Situasi ini memberi tanda kuat bahwa RUU Pemilu menunda logika dominasi kedaulatan rakyat, yang sejatinya memiliki hak/kompetensi untuk melaksanakan kekuasaan atau memimpin. Hal ini terjadi karena hak politik rakyat diserahkan sepenuhnya kepada representasi partai politik di parlemen,” kata Fariz di Jakarta, Selasa (4/7).
Pada sisi ektrem lainnya, kata dia, perilaku representasi rakyat di parlemen ternyata lebih mementingkan posisi kekuasaan. “Pada titik inilah kami menilai telah terjadi krisis representasi pada sistem kenegaraan,” katanya.
Krisis representasi juga ditandai dengan adanya demokrasi disensus sebagai antitesis dari kecenderungan berlebihan terdapat demokrasi konsensus. Perbedaan antara 'aku' _(rakyat)_ dan 'pihak lain' _(partai politik)_ tidak sepenuhnya dapat direduksi dan dijembatani,” katanya.
Fariz menyetir hasil survey oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI, 2015-2016), dimana terlihat penurunan tingkat kepuasaan rakyat terhadap parlemen sebesar 11 persen. Kondisi ini akan menciptakan kebuntuan saluran politik antara warga rakyat dengan negara, serta fragmentasi politik yang sangat tinggi pada rakyat akibat dari kurangnya kesadaran politik rakyat.
Menurutnya, terciptanya kebuntuan saluran politik dan tingginya fragmentasi sosial akan makin melemahkan negara dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbukti dari berbagai masalah yang muncul ke permukaan seperti kesenjangan sosial, terorisme, kriminalitas juga SARA.
Hal terpenting dalam sebuah kebijakan politik legislatif adalah menumbuhkembangkan kemandirian rakyat Indonesia, dan bukan menjadikan rakyat hanya sebagai objek dan komoditas politik.