Golkar Harus Gelar Rapimnas untuk Menghindari Perpecahan
Direktur Orkestra, Poempida Hidayatullah setuju dengan Anwar Arifin agar Golkar melaksanakan proses dan mekanisme di internal secara demokratis. Karena itu, forum yang transparan dan demokratsi adalah Rapimnas dengan agenda khusus membahas pencalonan wakil presiden.
“Airlangga selaku ketua umum Golkar harus melakukan komunikasi dengan pengurus DPD I dan II dan kemudian membahas pencalonan. Jika calon ynag terpilih lewat Rapimnas, maka yang bersangkutan mendapat legitimasi partai. Mengenai jumlahnya berapa calon yang diusulkan, terserah Rapimnas yang memutuskan,” ujar Poempida.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsmara Amany juga setuju partai harus melakukan proses demokrasi di internal agar calon yang terpilih punya legitimasi kuat.
“Kalau PSI karena tridak mencalonkan wapres dan mendukung Jokowi, maka mendukung figur yang muncul melalui ajang voting. Saya setuju jika partai pengusung Jokowi melakukan semacam proses dari bawah hingga tingkat DPP Pusat ini untuk mengurangi friksi dan juga perpecahan di dalam,” katanya.
Ancaman Perpecahan Parpol
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN) Yassin Muhammad dalam paparannya mengatakan, deklarasi rekomendasi capres, dukungan partai politik pada kontestasi Pilpres 2019 telah mengerucut pada nama petahana, Presiden Jokowi. Disebut non Jokowi karena partai politik yang belum secara resmi mendeklarasikan calon presiden belum memiliki nama tunggal untuk diusung sebagai calon presiden atau paket capres-cawapresnya.
Dalam fatsun politik, tentu saja keputusan rekomendasi Parpol terhadap dukungan Capres melalui Rapimnas, Mukernas, Rakernas semestinya merupakan sebuah keputusan yang mengikat terhadap seluruh elemen Parpol meliput pengurus, kader atau bahkan hingga sampai di level simpatisan. Keputusan rekomendasi dukungan Capres adalah sah sebagai mekanisme parpol, konsekwensinya akan mengikat sikap politik dan/atau pilihan politik yang tunggal, atau solid, atau utuh kepada semua elemen Parpol.
Karenanya, akan menjadi fenomena aneh jika ada dinamika "beda pilihan" antara keputusan parpol dengan pengurusnya, kadernya atau mungkin simpatisan. Perbedaan beda pilihan ini sekaligus menimbulkan dampak berupa perseteruan antara koalisi elit vs koalisi kader Parpol.