GP Ansor dan Orang Dayak Berkolaborasi untuk Perkuat Pancasila
Yulius Yohanes menyampaikan agar tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap petani peladang Dayak yang buka ladang dengan cara bakar, karena bagian tidak terpisahkan dari aspek religinya.
Selagi teknologi inovasi tepat-guna berbiaya murah belum ditemukan dalam buka ladang tidak dengan cara dibakar, supaya memperhitungkan dampak sosial yang lebih luas, jika masih dilakukan kriminalisasi terhadap petani Dayak, karena berladang dengan cara bakar, bagi orang Dayak bagian dari aplikasi peribadatannya.
Menurut Yulius Yohanes, alasan di balik kriminalisasi terhadap peladang Dayak buka ladang dengan cara bakar, lantaran menimbulkan kabut asap, sangat tidak tepat, ini bukti aparat Pemerintah Indonesia tidak memahami anthropologi budaya Suku Dayak.
Karena aktivitas ini, ujar Yulius Yohanes, sudah dilakukan sejak ribuan tahun silam, sementara penyebab kabut asap setiap kali musim kemarau, adalah kebakaran lahan milik perusahaan perkebunan berskala besar, serta pemanfaatan lahan gambut menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi yang mengabaikan aspek keseimbangan ekosistem.
Memperhatikan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, lanjut Yulius Yohanes, supaya pemajuan kebudayaan tidak memicu pertikaian dan penindasan yang mengancam keragaman masyarakat, yang merupakan identitas bangsa Indonesia.
“Maka masyarakat Suku Dayak, jangan dipaksakan bertani menanam padi sawah baru di Pulau Kalimantan, karena bukan bagian dari Kebudayaan Dayak. Masyarakat Suku Dayak membutuhkan sistem pengairan atau tata kelola air yang cocok dengan Kebudayaan Suku Dayakdi dalam bercocok tanam padi,” tambah Yulius Yohanes.
Koordinator Penghubung DIO Provinsi Kalimantan Tengah, Dagut H Djunas, menegaskan agar kawasan situs pemukiman dan situs pemujaan yang sudah terlanjur beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi non-koservasi sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka setelah habis izin usahanya atau habis satu siklus tanam, supaya segera dikembalikan kepada masyarakat Suku Dayak setempat.
“Ini sebagai implementasi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, serta sebagai upaya mendukung Program Heart of Borneo (HoB) Indonesia Malaysia, Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi: