Harga Ayam Mahal, Peternak Tetap Saja Rugi
jpnn.com, BALIKPAPAN - Meski harga ayam potong di pasar mahal seperti Idulfitri lalu, lantas normal lagi seperti saat ini, namun para peternak mengaku tak kunjung memperoleh keuntungan.
Seperti yang dialami Armain, peternak dari Lamaru, Balikpapan Timur. “Tak ada perubahan sejak heboh ayam mahal Idulfitri (14/6) lalu,” ucap Armain.
Padahal saat itu hingga Idulfitri berakhir harga ayam broiler di pasar mencapai Rp 41 ribu per kilogram. Sementara harga kontrak terbaru dari kemitraan saat itu Rp 23.200 untuk satu kilogram ayam hidup.
Harga ini dirasa adil jika bobot ayam maksimal. Namun, dengan kondisi bobot yang minim hingga sekarang ini, kerugian sudah ada di depan mata peternak. “Kalaupun ada untung bakal habis buat memperbaiki kandang dan pengeluaran peralatan,” tuturnya.
Kondisi ini terjadi lantaran banyak peternak seperti dirinya belum bisa lepas dari kemitraan dengan pemodal. Yakni perusahaan penyedia day old chicken (DOC), pakan dan obat untuk peternakannya. Keterikatan dirinya dengan pemodal memang menguntungkan sejak dia memulai usaha di 2004 lalu. Namun pada 2015 situasinya berbalik.
“Sejak dilarangnya penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoters),” kata peraih penghargaan peternak teladan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 itu.
Dengan bobot ayam berkurang, keuntungan yang didapat ikut terkuras. Bahkan dalam beberapa kali panen, Armain mengaku rugi. Bahkan harus menombok hingga belasan juta rupiah. Ini karena perusahaan tak mau ambil pusing. Modal yang diberikan ke peternak harus kembali.
Jika tak ada keuntungan ke pemodal, maka untuk mencapai break even point dengan mengambil uang dari peternak. “Di kontrak bunyinya seperti itu,” tutur Armain.