Hendardi: Ini Gambaran Nafsu TNI Merengkuh Kewenangan Baru
“Di luar lingkup di atas, RPerpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum,” tegas Hendardi.
Sementara, RPerpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system, dengan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah.
Draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.
Hendardi menilai cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam RPerpres adalah mengancam supremasi Konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga.
RPerpres juga berpotensi men-sabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri.
Sebagai gambaran, menurut Hendardi, salah satu tugas TNI yang digambarkan dalam RPerpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial.
Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.
Atas dasar itu, menurut Hendardi, DPR dan Presiden Jokowi harus menolak RPerpres ini. Apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat.