Hilangnya Keperawanan dan Status Hukumnya, Bisa Makin 'Kuat'
Misalnya, dalam hal menikah perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak atas dirinya dibanding walinya.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak dengan dirinya dibanding walinya, dan perempuan yang masih perawan dimintai izinnya, sedang izinnya adalah diamnya” (H.R. Muslim) Muhyiddin Syarf an-Nawawi menjelaskan bahwa kata ahaqqu (lebih berhak) dalam hadis tersebut mengandaikan adanya persekutuan dalam hak.
Artinya, baik pihak perempuan atau walinya sama-sama memilik hak. Perempuan memiliki hak atas dirinya dalam menentukan pasangan hidupnya, sedang wali memiliki hak untuk menikahkannya.
Namun hak perempuan tersebut lebih diutamakan atau diunggulkan daripada walinya. Akibatnya apabila terjadi perselisihan dalam memilih pasangan hidup, maka pilihan si perempuan didahulukan.
Misalnya, pihak wali menginginkan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak perawan lagi dengan laki-laki sekufu, tetapi si perempuan tidak mau, maka dalam hal ini ia tidak boleh dipaksa.
Atau sebaliknya, si perempuan sudah memilih pasangan hidupnya yang sekufu tetapi walinya tidak mau menikahkannya, maka dalam hal ini wali boleh dipaksa untuk menikahkannya, dan apabila tidak mau maka hakim yang menikahkannya.
Oleh sebab itu jika walinya tetap bersikeras tidak mau menikahkannya maka hakim yang menikahkan.