Hindari Tabrakan RUU PKS dan RUU KUHP
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka menyatakan kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah untuk menjawab kegelisahan yang terjadi di masyarakat terkait maraknya fenomena kekeasan seksual yang sulit mencapai keadilan hukum di Indonesia.
Menurut dia, karakter Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersifat umum, sehingga saat kasus dibawa ke pengadilan pembuktian menjadi sulit, dan korban tidak mendapatkan keadilan. Padahal, lanjut dia, kekerasan seksual butuh pendekatan yang tidak hanya khusus maupun fisik pembuktiannya, tetapi juga penanganan psikologis serta lainnya.
“Itu yang selama ini agak kesulitan dieksekusi dengan KUHP,” tegasnya dalam diskusi bertajuk RUU PKS Terganjal RKUHP? di gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/7).
Diah menjelaskan tren kekerasan seksual sudah sangat mengkhawatirkan, bahkan tidak sedikit korbannya adalah anak-anak. Menurut Diah, tidak hanya pencabulan tetapi perundungan di sekolah juga sudah marak terjadi. Hal ini berarti pelecehan juga sudah dilakukan secara verbal namun berdampak kepada psikologi.
Karena itu, DPR mengambil inisiatif membentuk RUU PKS. “Jadi, berangkat tidak dari asumsi, tetapi bicara kebutuhan ril terhadap penanganan korban. Itu concern-nya,” kata Diah.
BACA JUGA: Peradi dan Komnas Perempuan Desak DPR Sahkan RUU PKS
Menurut dia, bisa saja RUU PKS menjadi acuan pembahasan pasal-pasal kesusilaan dalam Revisi KUHP yang tengah dilakukan Panja RUU KUHP DPR. Dia berharap RUU PKS dan RUU KUHP bisa saling melengkapi dalam esensi memahami penyelesaian kekerasan seksual. Tidak hanya itu, Diah berharap bisa saja KUHP memberikan gambaran terhadap RUU PKS terkait persoalan kekerasan seksual.
“Jadi, bisa saling melengkapi kelemahan-kelemahan dari undang-undang yang bersifat lebih umum seperti KUHP, atau RUU PKS akan bisa memberikan gambaran bagaimana penghapusan kekerasan seksual menjadi acuan dalam pembahasan pasal-pasal kesusilaan di KUHP,” paparnya.