Hmm, Ternyata Ini Alasan MPR Ngebet Mengamendemen UUD
Nah, Ali menegaskan, terlepas setuju atau tidak, pola GBHN yang pernah ada di era Orde Baru memberikan warna lebih terukur dalam soal mengatur strategi pembangunan.
"Waktu itu pernah dikenal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur diatur sedemikian rupa sehingga anggaran proporsional dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan zamannya," katanya.
Namun, ujar dia mencontohkan, sekarang ini ketika infrastruktur didongkrak, sektor pertanian masih kerap melakukan impor seperti garam dan berbagai macam bidang lainnya. "Dulu petani dengan bangga menyekolahkan anak ke mana-mana, tetapi sekarang ini tidak bisa," paparnya.
Karena itu, Ali berpandangan kalau dilakukan amendemen UUD NRI 1945, maka yang paling penting adalah mengembalikan fungsi GBHN dalam konstitusi. "Itu yang menurut saya jauh lebih penting," katanya.
Selain itu, lanjut Ali, yang tidak kalah penting adalah perlu atau tidaknya MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Sekarang, kata dia, kewenangan MPR seimbang dengan lembaga lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
"Coba bayangkan, baru kali ini yang namanya sidang paripurna MPR setiap tanggal 16 Agustus itu, MPR mengadakan sidang sendiri, DPD sendiri, DPR sendiri," katanya.
Menurut dia, hal ini terjadi karena posisi MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, tetapi hanya lembaga tinggi negara. Karena itu, ujar dia, kewenangan formal MPR tidak lebih dari sekadar melantik presiden
Nah, Ali menyatakan, cara merumuskan perubahan UUD NRI 1945 kembali lagi kepada konfigurasi politik yang berjalan. Menurut dia, kalau pemenang pemilu seperti PDIP, Partai Golkar, dan Partai Gerindra sepakat, maka perubahan UUD akan terjadi.