Hmmm, Ternyata Begini Prosedur KPK Menyadap Telepon
jpnn.com, JAKARTA - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencecar para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang cara melakukan penyadapan. Masalah itu mencuat karena kebanyakan operasi tangkap tangan (OTT) KPK berawal dari hasil sadapan.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, penyadapan tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurutnya, ada mekanisme yang mengaturnya.
Agus menjelaskan, penyadapan diawali usul Direktorat Penyelidikan KPK setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). Usul itu disampaikan ke pimpinan KPK.
Jika lima pimpinan setuju dan menandatangani surat perintah penyadapan (sprindap), intersepsi baru bisa dilakukan. “Yang menyadap bukan Direktorat Penyelidikan, tapi Direktorat Monitoring di bawah Deputi Informasi dan Data KPK,” kata Agus saat rapat dengar pendapat di Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (12/9).
Dia menegaskan, penyadapan itu juga diawasi oleh Direktorat Pengawasan Internal (PI) di bawah Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK. “Jadi, Direktorat PI yang selalu memeriksa log book penyadapan tadi,” katanya.
Agus menegaskan, penyadapan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan tanpa melalui prosedur resmi di KPK. Karena itu bidang penyelidikan, informasi dan data serta PI saling terkait dalam melakukan penyadapan.
Pada RDP itu Deputi Bidang Informasi dan Data (Inda) KPK Hary Budiarto menjelaskan lebih detail ihwal penyadapan. Dia mengakui bahwa penyadapan dilakukan oleh tiga kedeputian di KPK.
Menurutnya, Deputi Penindakan KPK sebagai user. Untuk itu, Deputi Penindakan menyerahkan nomor target yang akan disadap dan menerima hasil sadapan.
Selanjutnya Deputi Inda melakukan penyadapan. Sedangkan Deputi PIPM melakukan audit dari seluruh rangkaian kegiatan penyadapan.
Hary menegaskan, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak berwenang mengaudit penyadapan oleh KPK pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu bukan berarti kegiatan intersepsi tidak diawasi. “Kami diaudit (oleh PIPM), setiap tiga bulan sekali,” katanya.
Dia menjelaskan lagi, sebelum ada surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang ditandatangani lima komisioner KPK maka penyadapan tidak bisa dilakukan. Deputi Inda tidak boleh memasukkan nomor yang akan disadap ke mesin. “Sprindap (surat perintah penyadapan, red) tidak bisa dibuat kalau tidak ada sprinlidik,” ujarnya.
Hary menjelaskan, nomor yang disadap juga harus ada kaitannya dengan proses penegakan hukum. Dengan demikian tidak sembarang nomor bisa disadap.