HNW: RUU Ketahanan Keluarga Sejalan dengan Ketentuan HAM Dalam UUD 1945
Selain itu, Hidayat yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI dari FPKS ini juga menuturkan bahwa ada pula kesalahpahaman terkait dengan RUU ini, seolah-olah misoginis dan mendomestikasi peran perempuan. “Itu tidak benar. Sebab RUU ini justru hadirkan pengaturan yang lebih eksplisit bukan hanya istri yg berperan dalam rumah tangga, tapi suami juga,” jelasnya.
Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 24 RUU KK bahwa suami dan istri mempunyai hak yg seimbang di dalam mengatur kehidupan keluarga. Selanjutnya, Pasal 28 yang menyatakan bahwa suami dan istri yang mempunyai anak, secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mendidik anak dan menjadi teladan bagi anak-anak. Aturannya justru memberikan hak dan mewajiban yang seimbang/setara antara suami dalam mengurus dan bertanggung jawab terhadap Keluarga.
Apalagi, lanjutnya, sebenarnya induk dari norma terkait dengan tugas atau kewajiban suami dan istri tersebut merupakan norma yang prinsipnya sudah berlaku sejak 1974, yakni sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hingga sekarang. “Dan selama ini tidak ada masalah terkait itu,” ujarnya.
Tuduhan adanya upaya domestikasi perempuan harus selalu di rumah juga tidak tepat. Ia menuturkan justru RUU Ketahanan Keluarga ini mengatur tentang adanya jaminan yang lebih kepada istri atau perempuan yang bekerja atau berkarier di kantor, yakni dengan meningkatkan hak terkait cuti hamil, cuti menyusui dan sebagainya.
“RUU ini justru untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan/istri/ibu yang bekerja. Itu jelas diatur dalam Pasal 29 ayat (1) RUU Ketahanan Keluarga,” tukasnya.
Tuduhan bahwa Negara terlalu mencampuri ranah privat, juga terbukti tidak benar. RUU itu justru mewajibkan negara untuk melaksanakan kewajibannya terhadap Rakyat Indonesia dengan melaksanakan UUD NRI 1945, Negara tidak diberi karpet merah untuk intervensi, tetapi diberi payung hukum untuk fasilitasi realisasi dari HAM terkait Keluarga dan yang terkait dengannya.
“Maka sebaiknya mereka yang menolak, membaca RUU Ketahanan Keluarga ini dahulu secara utuh agar tercipta diskursus yang konstruktif untuk suksesnya keluarga Indonesia. Tetapi apa pun, karena RUU ini masih dalam tahap pembahasan, maka kritik, masukan, perbaikan dan lain sebagainya untuk menyempurnakan RUU ini, tentu sangat diharapkan dan diperhatikan,” pungkas Hidayat.(jpnn)