Hujan Kritik dan Banjir Kekesalan Warnai Rontoknya 26 Perkara Pilkada di MK
"Karena terbukti, hari ini (Kamis) KPUD tidak pernah bisa dikaji karena dibatasi segmen 158 (pasal 158 UU Pilkada). Jadi dampaknya akan panjang. Sangat ironis sekali kita dengar hakim membacakan alasannya karena ini pertimbangan budaya hukum," ujar Ilham.
Ilham melihat pertimbangan MK bertolak belakang dengan pernyataan yang sebelumnya pernah dilontarkan pada tahun 2008 lalu. Ketika itu majelis hakim MK menyatakan lembaganya bukan lembaga kalkulator, namun mencari keadilan.
Selain itu Ilham juga menyesalkan pertimbangan hakim karena berdasarkan perhitungan pihaknya, selisih suara pasangan Tigor-erik hanya 350 suara. Artinya tidak melewati ambang batas. Sementara menurut pendapat KPUD, selisih suara mencapai sekitar 7 persen.
"Makanya kami kecewa apalagi petimbangan hukum yang kami ajukan dalam dalil tidak dibacakan oleh hakim. Angka pembanding penduduk ternyata itu tidak dibacakan oleh hakim. Konklusinya ternyata sama dengan perkara yang lain. Kalau begini orang sudah siap-siap (pada pilkada) 2017 mendatang. Suaranya di atas 2 persen, kecurangan terjadi silakan. Sudah seperti itu jadinya," kata Ilham.
Kritikan tajam juga dikemukakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menilai MK tidak mampu memberi terobosan seperti yang diharapkan. MK tersandera oleh putusannya sendiri yang sebelumnya pernah diterbitkan.
"Pada putusan Nomor 51 Tahun 2015, MK menyebut persentase selisih sebagai open legal policy atau kebijakan politik hukum terbuka dari pembuat undang-undang. Jadi atas dalih itu dan wujud kepastian hukum, maka MK menganggap mereka harus konsisten. Dalil dalam Pasal 158 UU Pilkada dan PMO 5/2015 dianggap MK harus diterapkan konsisten. Sehingga seolah-olah atas nama Kepastian Hukum maka semangat keadilan pemilu bisa dikesampingkan," ujar Titi.
Pertanyaannya kemudian kata Titi, apakah layak menerima konsekuensi putusan MK dimaksud sebagai wujud kepastian hukum. Padahal MK dalam membuat tafsir persentase selisih dalam PMK 5/2015 saja dianggap banyak pihak salah kaprah. Sebab semakin mempersulit pemohon mengajukan permohonan ke MK.
"Dalam hal ini MK menggunakan logika bahwa hasil pilkada itu tercipta sebagai buah dari sebuah proses yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Serta kemampuan pengaruh atas hasil hanya boleh dalam persentase tertentu. MK tidak berlogika sebaliknya, bahwa potensi masuk angin dan curang selalu ada kemungkinan terjadi dalam penyelenggaraan tahapan pilkada," katanya.