Ibu Risma di Bawah Mbak Rita
Faktor kedua menurut Titi masih perlu pembuktian. Yakni, apakah kemenangan itu dipengaruhi akses petahana terhadap birokrasi, APBD, dan fasilitas daerah. ’’Ketiga hal itu diduga digunakan oleh calon petahana untuk kepentingan pemenangannya,’’ lanjut Titi.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan pendidikan pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai wajar apabila petahana memenangkan pilkada. Selama kinerjanya baik, tentu dia akan terpilih lagi. ’’Tapi menjadi tidak wajar apabila kemenangannya itu di atas 75 persen,’’ ujarnya.
Faktor kedua, lanjutnya adalah jumlah paslon yang berlaga. Apabila paslonnya hanya dua, maka bisa saja petahana meraih kemenangan di atas 75 persen. Hal itu salah satunya bisa merupakan akibat calon non petahana terlalu jauh kualitasnya dibandingkan petahana, dan pemilih tidak memiliki alternatif lain.
Faktor ketiga adalah kecurigaan kongkalikong. ’’Bisa diduga ada pembicaraan tertentu antara petahana dengan lawannya,’’ lanjutnya. Sehingga, lawan dari petahana pun tidak banyak bekerja untuk memenangkan pilkada. Bukan tidak mungkin, di belakang akan muncul tudingan lawan dari petahana sejak awal tidak serius memburu kemenangan.
Di luar itu semua, tambahnya, bagaimanapun masyarakat sudah menjatuhkan pilihan. Tinggal bagaimana petahana membuktikan kinerjanya pada periode kedua untuk menjawab kepercayaan para pemilih.
JPPR juga mencatat rekor kemenangan di satu daerah, yakni Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat. Di kabupaten tersebut tidak ada petahana yang berlaga. Namun, kemenangan yang dicatat satu dari dua paslon mencapai angka 97,69 persen. ’’Itu kemenangannya fantastis sekali,’’ tutupnya. (byu)
Calon Incumbent Dengan Kemenangan Mutlak
Kota Blitar, Samanhudi Anwar-Santoso 92,04