IHSG Turun Terimbas Pengumuman Harga Baru BBM
jpnn.com - JAKARTA – Indeks harga saham gabungan (IHSG) akhir pekan gagal bertahan di zona hijau. Ini setelah IHSG ditutup turun 40,333 poin (0,78 persen) ke level 5.148,379. Begitu juga indeks LQ45 anjlok 7,342 poin (0,82 persen) ke level 886,343.
Frekuensi transaksi perdagangan reguler hari ini (16/1) mencapai 245.758 kali dengan volume 4,636 miliar saham atau Rp 4,929 triliun. Sebanyak 209 saham turun, 95 saham berhasil naik, dan selebihnya turun.
Saham-saham turun dengan nilai paling dalam (top losers) antara lain, Delta Djakarta (DLTA) turun 5.575 (1,48 persen) menjadi 370.000. Indocement Tunggal (INTP) turun 2.550 (10,26 persen) menjadi 22.300. Semen Indonesia (SMGR) turun 1.200 (7,41 persen) menjadi 15.000. Tambang Bukit Asam (PTBA) turun 475 (4,24 persen) menjadi 10.725.
Sebaliknya, saham-saham berhasil naik dengan nilai tertinggi (top gainers) diantaranya Unilever (UNVR) naik 775 (2,37 persen) ke level 33.500. Blue Bird (BIRD) naik 525 (4,54 persen) ke level 12.100. Bank Ekonomi Raharja (BAEK) naik 400 (22,22 persen) ke level 2.200. Trikomsel Oke (TRIO) naik 230 (21,60 persen) ke level 1.295.
Memasuki perdagangan sesi kedua, IHSG sebenarnya sempat menguat sekitar 0,2 persen dan kenaikan tertinggi tembus 0,5 persen. Bertepatan dengan selesainya pengumuman harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh presiden Jokowi diikuti penurunan harga LPG dan semen produk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), IHSG berbalik ke zona merah hingga akhir perdagangan.
Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai pemerintah itu sedang memerkenalkan kebiasaan baru dan budaya baru. ”Budaya yang bernama, harga akan bergerak naik turun sesuai dengan kondisi pasar. Itu sebabnya pemerintah menyesuaikan harga BBM subsidi sesuai dengan pergerakan harga minyak (global). Karena, pemerintah sudah menyesuaikan sesuai harga pasar, maka tidak salah kalau pemerintah juga berharap masyarakat juga menaikturunkan harga sesuai dengan permintaan pasar,” ucapnya.
Salah satunya di harga semen dan LPG. Dua harga ini, menurutnya, istilahnya di’pinjam’ oleh pemerintah untuk memaksakan agar harga bisa sesuai dengan mekanisme pasar. ”Kalau LPG kan karena harga minyak turun. Harga semen, karena demand sedang jelek seiring dengan melemahnya pasar properti. So, pasarnya memang hanya sedang kena ‘shock terapi’ dari pemerintah,” katanya.
Harapan jangka panjang pengenaan tarif atau harga apapun tidak boleh lagi seenaknya dan harus sesuai mekanisme pasar. ”Harus sesuai dengan supply and demand. Kalau harga BBM turun misalnya, ya berarti tarif taksi harus turun. Demand properti turun misalnya ya, harganya bisa turun juga,” ujarnya.