Ikatan Cinta
Oleh Dhimam Abror DjuraidLepas dari selera rendah atau tidak, Ikatan Cinta adalah sinetron fenomenal. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit karena pandemi, ternyata Ikatan Cinta bisa muncul menjadi hiburan yang ditonton secara masif, bahkan bisa menghasilkan perputaran ekonomi yang besar.
Sejak ditayangkan pada akhir 2020, sinetron itu sampai sekarang konsisten mendapatkan rating 12 sampai 15 poin dan menjadi acara yang paling banyak ditonton dengan share audience mencapai 55 persen.
Sekadar gambaran saja, share audience dan rating Ikatan Cinta hanya kalah sekali dari final kompetisi sepak bola Euro 2020.
Tidak usah bicara soal kualitas. Jangan tanya soal mutu. Sinetron ini akan dianggap oleh banyak orang sebagai sampah.
Namun, sebagai industri mimpi, sinetron itu sukses menyedot imajinasi jutaan orang, terutama ibu-ibu, dan ujung-ujungnya menghasilkan laba yang cukup besar.
Sinetron adalah bagian dari industri budaya yang sudah tercemar oleh komersialisasi dan industrialisasi. Budaya yang seharusnya menjadi wujud dari ekspresi atau pemikiran estetik masyarakat, telah kehilangan maknanya dan diperlakukan layaknya sebuah produk komoditas yang bisa diperjual-belikan untuk mengumpulkan keuntungan.
Budaya tidak lagi menjadi ekspresi kultural yang menyajikan keindahan, tetapi sudah menjadi dagangan yang disesuaikan dengan logika kapitalisme.
Sinetron Ikatan Cinta yang ditonton jutaan orang akhirnya menarik produsen untuk memasang iklan pada acara itu. Pada akhirnya, penonton sinetron menjadi objek ganda, yakni dibuai mimpi cerita dan target konsumerisme iklan.