Ikatan Cinta
Oleh Dhimam Abror DjuraidAdorno dan Hokheimer menyebut fenomena ini sebagai budaya pop atau pop culture yang menjadi inti kapitalisme industri media sekarang. Dengan budaya pop, selera orang di seluruh dunia diseragamkan.
Sinetron Ikatan Cinta sama saja dengan opera sabun Dallas buatan Amerika yang sangat terkenal pada masa lalu. Ikatan Cinta sama saja dengan ratusan drama korea yang digandrungi seluruh dunia. Isinya menggambarkan orang-orang cantik, ganteng, dan kaya raya yang terlibat cinta segitiga serta berebutan harta.
Cerita itu dibuat berputar-putar sampai menjadi ratusan episode, tanpa diketahui sampai kapan berakhir. Namun, itulah yang membuat penonton seperti Mahdud MD terpaku di depan televisi dan setiap hari menjadi penasaran ingin tahu episode selanjutnya.
Industri budaya menjadikan karya seni sebagai komoditi yang dikemas dalam produk yang menawan dan lebih mengutamakan aspek ekonomi dalam rasionalitas kapitalis ketimbang tujuan membawa pencerahan kepada masyarakat.
Karya seni seharusnya menjadi sebuah pencerahan bagi kemanusiaan, tetapi industri budaya malah menyebabkan kemunduran terhadap otonomi individu. Yang terjadi ialah regresi atau kemunduran dari pencerahan.
Industri budaya bertumpu pada hadirnya teknologi. Temuan teknologi seharusnya dimaksudkan sebagai pembebasan terhadap manusia. Dengan teknologi, manusia banyak diberi kemudahan dan kenyamanan.
Namun, manusia menjadi mager alias malas gerak karena dimanjakan teknologi. Bukan hanya mager fisik, tetapi juga mager intelektual alias lebih suka pada hal instan dan tidak mau berpikir kritis.
Teknologi yang seharusnya sebagai alat pencerahan malah menjadi alat penindasan dan penjajahan budaya serta akal sehat. Walhasil, teknologi yang semestinya mencerahkan malah membuat orang makin tidak cerdas dan tidak kritis.