Ikon-Ikon Seni Jogja setelah sang Maestro Berpulang (1)
Butet Tak Ingin seperti Keluarga Cak NurKamis, 29 Januari 2009 – 01:52 WIB
Selain kerja sama dan tamu rombongan itu, upaya menghidupi yayasan dan padepokan ditempuh dengan menyisihkan pendapatan dari pentas Kua Etnika, Sinten Remen, maupun Teater Gandrik sebesar 10 persen. Pemotongan 10 persen tersebut dilakukan dua kali setahun. Pola ini, menurut Butet, menjadi pola yang tampaknya cocok bagi pengembangan padepokan di masa datang.
’’Kami terus mencoba model ini beberapa tahun. Ke depan, kami ingin bukan kami (Kua Etnika, Gandrik, Sinten Remen maupun PLT) yang menghidupi yayasan. Tapi justru yayasanlah yang menaungi kami,’’ ujar suami Rullyana Isfihana itu.
Maksud Butet, yayasanlah yang memenuhi semua overhead cost dan mereka hanya berkewajiban berkarya. Istilah Butet, mereka (Kua Etnika, Gandrik, Sinten Remen), sebagai ahli waris Bagong Kussudiardja tetap diberi hak ngindung atau magersari dan punya kewajiban berkarya dan berkreasi.