Indonesia Dorong Flexibilitas Perjanjian Paris di COP24
jpnn.com, POLANDIA - Sehari menjelang penutupan COP 24 UNFCCC, persoalan “fleksibility” dalam mengimplementasikan pasal pasal Perjanjian Paris terutama dalam keragka transparansi aksi dan dukungan, menjadi topik hangat di meja perundingan.
Bagi negara maju yang sudah lebih matang dalam penerapan berbagai ketentuan, metodologi dan pelaporan tidak begitu masalah dengan beratnya persyaratan di bawah aturan Protokol Kyoto.
Tapi bagi negara berkembang hal ini masih perlu diberikan ruang karena baru akan menerapkan berbagai ketentuan Perjanjian Paris secara mandatory.
Nur Masripatin selaku Ketua National Focal Point Indonesia untuk UNFCCC sekaligus Ketua Negosiator mengatakan tentunya Indonesia sebagai negara berkembang tetap memerlukan flekaibilitas dalam hal metodologi dan pelaporan penerapan target Nationally Determined Contributions (NDC) apalagi sesuai dengan ketentuan Perjanjian Paris.
“Kita juga tidak mengharapkan fleksibilitas selebar lebarnya tapi kita ingin proses bertahap menuju perbaikan metodologi dan detail pelaporan aksi dan dukungan melalui “Vehicle” yang ditetapkan Perjanjian Paris, misalnya dalam transparansi report yang juga masih diperdebatlan antara aksi dan dukungan apakah “annually (setiap tahun)” atau “biennial (dua tahun)," kata Nur Masripatin.
Menurut Nur, ada juga ketidakseriusan terjadi pada kelompok negara maju karena sibuk mengatakan “more flexible” tapi mereka sendiri tidak ingin transparan dalam melaporkan dukungan yag tersedia, serta yang sudah diberikan ke negara berkembang.
Sementara ituDirektur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi KLHK, Joko Prihatno, selaku yang menjadi lead negosiator untuk Kerangka Transparansi menyebutkan bahwa fleksibilitas diatur di dalam pasal 13 paragraf 1 dan pasal 13 paragraf 12 Perjanjian Paris.
“Selama tidak bertentangan dengan pasal tersebut dapat dijalankan sebagai kerangka transparansi oleh negara anggota," ucap Joko.