Indonesia Sudah Terlatih Salahi Konstitusi
jpnn.com - JAKARTA - Pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis menilai pemerintah yang berkuasa di negeri ini sudah lazim melanggar konstitusi. Menurutnya, pelanggaran konstitusi sudah sejak Presiden RI Pertama, Ir Soekarno.
Margarito mengatakan, dari catatan sejarah, Indonesia terbukti sebagai bangsa yang sudah sangat terlatih melakukan penyimpangan konstitusi. Dimulai dari tahun 1950 dari kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer. Lalu, penyimpangan saat peralihan jabatan presiden dari Soekarno ke Soeharto.
"Dari presidensil kabinet menjadi parlementer kabinet di tahun 1950 dan peralihan jabatan presiden dari Soekarno ke Soeharto, dalam kontelasi hukum tata negara, sama sekali tidak ada dasar hukum konstitusinya," kata Margarito dalam sebuah diskusi di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (6/2).
Menurutnya, penyimpangan konstitusi juga berlanjut saat suksesi dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie. "Habibie jadi presiden, dasarnya hanya pidato Soeharto. MPR sama sekali tidak pernah bersidang membahas pergantian tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut Margarito mengatakan, potensi penyimpangan konstitusi hingga kini masih terus berlanjut. Misalnya dengan membuat undang-undang yang melemahkan substansi amanat konstitusi terkait pasal-pasal pemilihan presiden dan wakil presiden.
"Misalnya mengenai calon presiden. Dalam konstitusi ditegaskan partai politik dan atau gabungan partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. DPR malah membuat aturan baru lagi dengan cara memberlakukan presidential threshold sehingga tidak semua partai politik peserta pemilu dapat mengusung calon presiden dan wakilnya. Celakanya, penyimpangan konstitusi itu kesannya didiamkan oleh Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
Dari berbagai macam kegaduhan konstitusi yang berlangsung menjelang Pemilu 2014, Margarito memerkirakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memanggil para ketua umum partai politik untuk mengajak partai politik mau melaksanakan pemilu. "Bisa saja nanti, presiden mengundang ketua-ketua partai dan meminta lupakan undang-undang dan mari tetap kita laksanakan pemilu. Kalau ini terjadi, itu juga penyimpangan konstitusi namanya," imbuh dia.(fas/jpnn)