Inspirasi Bung Karno Bagi Milenial
Oleh Benny Sabdo - Pemikir Soekarnoisme & Anggota Bawaslu DKI Jakarta 2022-2027Mewakili suasana kebatinan terhadap persatuan, Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 berkumandang sebagai berikut: “Kita hendak mendirikan negara “semua untuk semua”. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi satu nationale staat”.
Benih-benih nilai yang terkandung dalam semangat persatuan dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belengggu penjajah. Pada masa depan, diproyeksikan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
The last but not least, kepemimpinan Bung Karno ini sangat luar biasa. Terbukti membawa Indonesia merdeka dan diakui dunia. Bahkan, membebaskan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang terjajah: Aljazair, Maroko, Tunia, Sudan. Maka Bung Karno disebut pendekar dan pembebas bangsa Islam. Nah, kepemimpinan dengan kehebatan diplomasi dan strategis ini tidak datang dari langit.
Namun, melalui suatu proses intelektual dan kerja keras. Bung Karno sejak muda sudah indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Sekalipun dalam pembuangan, Bung Karno tetap belajar sembari mengenal bangsa Indonesia dengan berbagai budayanya.
Jadi, paduan antara proses tempaan (formasi) intelektual, perjuangan (aktivis) yang turun ke bawah dan kecintaan pada rakyat (bangsa Indonesia). Itulah yang melahirkan kepemimpinan negarawan Bung Karno. Jadi milenial mari sejenak berpikir untuk bangsa, untuk negara.
Sekali-sekali boleh lah menikmati hidup, tapi jangan lupa melek politik, tekun dalam belajar, aktif berorganisasi. Kalau liburan sempatkan jalan-jalan ke pulau-pulau Indonesia, Sabang sampai Merauke supaya lebih mengenal budaya Nusantara.
Mari kita bangkitkan rasa cinta tanah air dengan segala kekayaannya; dengan identitas nusantaranya bukan dengan budaya asing.
Nasionalisme dibangun dengan kondisi kekinian. Selain itu, nasionalisme, rasa cinta tanah air ini mesti dipadu dengan daya kritis dan kekuataan intelektual dalam kepemimpinan nasional