IPW: Salah Pilih Bisa Jadi Malapetaka
Ketiga, sambung Neta, figur mantan politisi atau bekas tim sukses karena dikhawatirkan loyalitasnya akan tetap tinggi pada kelompok politik tertentu.
“Padahal, dalam banyak kasus para politisilah yang kerap terjerat korupsi," ungkapnya.
Keempat, lanjut Neta, figur pencari kerja yang seolah-olah KPK dianggap sebagai peluang lapangan pekerjaan potensial. Kelima, tegas Neta, pansel jangan terjebak katagorisasi Indonesia Barat dan Timur dalam memilih capim KPK, karena Indonesia adalah satu dalam NKRI.
"Figur bermasalah harus benar benar dihindari untuk menjadi pimpinan KPK agar tidak "tersandera" oleh internal lembaga antirasuah tersebut," kata Neta.
Dia menegaskan KPK ke depan membutuhkan figur pimpinan yang mampu membenahi internal yang sudah terpecah. Figur yang mampu menjadi teladan, tidak tebang pilih dan berani menyapu bersih semua kasus korupsi. Kemudian, figur yang mampu membangun sinergi dengan Polri dan Kejaksaan sehingga kedua lembaga itu bisa disupervisi agar bagian tipikornya bisa bekerja maksimal.
“Tentunya KPK butuh figur yang tidak mudah disetir anak buah di internalnya," ungkapnya.
Lebih lanjut Neta mengatakan pansel harus mencari capim KPK yang mampu menyelesaikan kasus Novel Baswedan hingga ke pengadilan, baik penyiraman air keras maupun penembakan di Bengkulu. Dengan demikian, ujar dia, KPK tidak terus menerus menjadi bulan-bulanan dan politisasi atas kedua kasus tersebut.
Selain itu, capim KPK harus punya target berapa lama ia mampu menyelesaikan kasus RJ Lino, Emirsyah Satar, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. "Tanpa semua itu, KPK periode baru tidak akan memunculkan terobosan baru dan hanya mengulang era KPK sebelumnya," pungkas Neta.(boy/jpnn)