Italia Dipimpin Perempuan, kok Para Pemimpin Eropa Cemas?
Saat bersamaan, terjadi erosi politik di Eropa ketika kelas pekerja yang biasanya mendukung partai-partai kiri, menjadi cenderung tak lagi mempercayai sistem.
Semua situasi ini menjadi pupuk yang menyuburkan pandangan individualistis, memecah belah dan sinis terhadap realitas.
Keadaan ini diperparah oleh krisis dalam demokrasi itu sendiri yang dianggap sudah tak mampu lagi mewujudkan janji-janji teoritiknya.
Demokrasi konvensional dianggap sudah menyerah dan kemudian tergantung kepada kepentingan penguasa modal, sehingga pergantian antara pemerintah tengah-kanan dan kiri-tengah tidak menawarkan alternatif untuk model ekonomi yang bisa mengatasi masalah yang ada.
Dalam atmosfer politik seperti ini, demokrasi pun menjadi pola atau prosedur tunggal yang tak bisa diubah, yang malah melucuti peran lembaga-lembaga perwakilan serta membuat pemilu pluralis direduksi tak lebih sebagai ritual belaka.
Dari sini, muncul rasa tidak puas dari bagian besar masyarakat yang lalu bermuara kepada ketidakpercayaan terhadap demokrasi dan lembaga-lembaga politik karena dipandang sudah terlalu korup, elitis, oligopolistik dan tak berdaya di depan korporasi besar yang tak terjamah siapa pun.
Akibat lebih jauh, partai-partai kemapanan pun dituding sudah tak mewakili rakyat yang sebenarnya.
Perubahan sikap masyarakat ini dimanfaatkan oleh partai-partai kanan yang getol menyerukan partisipasi politik langsung dan menawarkan alternatif bahwa kepercayaan kepada pemimpin karismatik adalah solusi untuk menghubungkan rakyat dengan penguasa tanpa perantara.