Jadi WNI
Oleh: Dahlan IskanHulu Sungai Belayan ini ada di dekat perbatasan dengan Sabah, Malaysia Timur. Sungai Belayan sering ''menipu'' investor. Apalagi investor emosional. Yang matanya mudah silau oleh kemilau emas hitam.
Begitu banyak investor salah hitung. Kalau musim kemaraunya panjang, bisa empat bulan tidak cukup air di Belayan. Keadaan dua tahun terakhir jangan jadi patokan. Hujan melimpah dalam dua tahun ini. Hampir tidak ada hari yang tongkang tidak bisa lewat. Hanya saja tetap sama: tongkang lebih 2.000 mt tidak bisa jalan.
Ini berbeda dengan sungai Senyiur. Sekitar 100 km dari sungai Belayan. Sama-sama anak Sungai Mahakam, dan sama-sama berhulu di dekat perbatasan Sabah, sungai Senyiur sangat dalam. Tongkang besar bebas berlalu lalang. Hampir sepanjang tahun. Pun di musim kemarau.
Hanya saja juru mudi kapal penarik tongkang harus ahli. Dan hati-hati. Sungai ini tidak beda dengan Belayan. Berliku-liku. Juga sesekali ada kampung terapung di sisi kanan-kirinya.
Bayan berhitung jeli. Ia tidak mau hanya mengandalkan Belayan. Ia juga mengirim batu bara lewat sungai Senyiur. Risiko besar ia ambil: harus membangun jalan sepanjang 70 km.
Ia putuskan bangun. Lebar sekali. Diaspal pula. Lebih lebar dari jalan pantura sebelum dilebarkan. Lebih mulus. Lebih kuat. Bisa dilewati truk bermuatan 180 ton! Truk bak ganda. Bandingkan dengan pantura yang hanya mampu dibebani maksimum 25 ton.
Itulah kunci lain sukses Bayan. Tanpa sungai Senyiur tidak mungkin Bayan bisa menjual 32 juta ton batu bara setahun. Yang, pada harga batu bara sekarang, bisa membuat laba Bayan sekitar Rp 30 triliun tahun lalu.
Maka sungai Senyiur tidak hanya melahirkan Raja Kayu di masa lalu –Haji Yos Sutomo, aktivis kelompok Cheng Ho– juga melahirkan orang terkaya Indonesia masa kini: Low Tuck Kwong.