Jaksa Agung Cita Rasa Politisi
Oleh; Achmad Fauzi*jpnn.com - KEPUTUSAN kontroversial pengangkatan jaksa agung bercita rasa politisi menuai banyak kecaman. Belum reda gelombang kekecewaan atas keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, publik kembali dikagetkan penunjukan H M. Prasetyo sebagai jaksa agung.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem periode 2014–2019 itu resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Andhi Nirwanto. Dia sebelumnya menjadi pelaksana tugas jaksa agung.
Sebenarnya kecaman atas penunjukan politisi sebagai pemimpin organ negara bukan kali pertama terjadi. Hakim MK dan ketua BPK yang berasal dari politisi juga pernah dikecam. Alasannya, partai politik saat ini kurang begitu meyakinkan, baik dari segi kaderisasi, transparansi pendanaan, maupun perwujudan platformnya.
Kritik tajam pengangkatan jaksa agung bercita rasa politisi setidaknya dipengaruhi beberapa alasan. Pertama, mekanisme perekrutan tidak berjalan transparan dan akuntabel.
Silakan bandingkan dengan etape pemilihan menteri beberapa waktu lalu yang agak terbuka dan menyediakan pilihan beberapa kandidat dalam setiap pos menteri. Ketertutupan penunjukan jaksa agung semacam itu membuka ruang prasangka dan dinamika politik yang tidak sehat. Apalagi, latar belakang Prasetyo sebagai politikus sangat dikhawatirkan memiliki hubungan emosional tinggi dengan partai politik yang sulit dilepaskan.
Di era transparansi dan arus tuntutan reformasi hukum yang semakin kuat, penunjukan jaksa agung yang tertutup itu menjadi antitesis atas semangat suci reformasi. Janji Presiden Joko Widodo ketika berkampanye yang kental nuansa ’’antipolitik’’ mulai perlahan terbantahkan.
Silakan refleksikan kembali memori ketika Presiden Joko Widodo menjual visi dan misinya di bidang penegakan hukum. Jokowi-JK lugas memaparkan ancaman korupsi politik yang aktornya adalah politisi di parlemen maupun eksekutif. Itu berarti sejak awal telah disadari bahwa aktor politik sangat rawan berurusan dengan hukum. Mengingat, pendanaan partai untuk membayar ongkos politik yang besar sangat tidak transparan.
Selain itu, Jokowi-JK menggulirkan ide pemilihan jaksa agung didasarkan kepada kualitas dan integritas serta menguatkan fungsi koordinasi dan supervisi KPK, polisi, dan jaksa. Jika visi misi tersebut dijadikan batu ujian dalam mengukur ketepatan penunjukan jaksa agung, akan terlihat kontradiktif. Oleh sebab itu, jaksa agung bercita rasa politikus menjadi preseden buruk yang seharusnya tidak terjadi.