Jaksa Agung Harus dari Jaksa
jpnn.com - JAKARTA - Transisi Pemerintahan Republik Indonesia akan berdampak pada perombakan lembaga hukum negara, misalnya seperti Kejaksaan Agung. Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto menjelaskan bahwa presiden punya hak prerogatif untuk menunjuk siapa yang akan menjadi Jaksa Agung.
Kendati demikian, Andhi menjelaskan bahwa dalam nomenklatur Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Kejaksaan pimpinan tertinggi Kejagung itu adalah Jaksa Agung.
"Jadi kalau misalnya ada yang menyebut Kepala Kejaksaan Agung (bukan Jaksa Agung), itu tidak ada dalam nomenklatur Undang-undang Kejaksaan," kata Nirwanto, Senin (25/8) saat jumpa pers di sela-sela seminar HUT ke-6 LPSK bertajuk "Pengarusutamaan Perspektif Saksi dan Korban dalam Peradilan Pidana" di Jakarta, Senin (25/8).
Ketua Umum Persatuan Jaksa seluruh Indoensia yang beranggotakan 8.960 jaksa, itu menjelaskan bahwa dalam struktur kejaksaan yang paling rendah adalahh Cabang Kejaksaan Negeri yang ada di kecamatan dan diketuai Kepala Cabjari. Kemudian Kejaksaan Negeri yang dipimpin Kepala Kejari, Kejaksaan Tinggi yang dipimpin Kepala Kejaksaan Tinggi. "Nah untuk di pusat bukannya Kepala Kejaksaan Agung tapi Jaksa Agung RI," ungkap Andhi.
Menurut Andhi, mengacu sebutan Jaksa Agung, artinya membawa nama jaksa. "Dan jaksa itu jabatan profesi, tidak mungkin diperoleh secara serta merta atau mendadak," katanya. Artinya, tidak mungkin orang yang tidak pernah berprofesi sebagai jaksa tiba-tiba menjadi Jaksa Agung.
Ia mencontohkan, dirinya yang sudah 34 tahun menjadi jaksa, belum tentu memahami A sampai Z tentang anatomi kejaksaan. Sebab, kejaksaan itu luas sekali tupoksinya.
Misalnya, menangani pidana umum, pidana khusus, perdata dan tata usaha negara. Belum lagi bidang intelijen kejaksaan yang harus mempunyai keahlian teknis tertentu.
"Nah memperhatikan hal demikian jaksa adalah profesi yang tidak bisa diperoleh secara serta merta," katanya.