Jangan Remehkan Jebakan Utang Luar Negeri
jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia, melalui Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menawarkan 28 proyek di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt and Road Initiative yang digelar di Beijing April 2019. Tak tanggung-tanggung, nilai proyek yang ditawarkan bernilai USD 91,1 miliar atau setara dengan Rp 1.296 triliun.
Analis ekonomi politik Kusfiardi menilai, penawaran proyek tersebut masih sangat jauh dari pengetahuan masyarakat. Terutama dampaknya terhadap kepentingan nasional seperti penguasaan sumber-sumber ekonomi, maupun penguasaan objek vital seperti pelabuhan dan bandara.
Mengutip data data Bank Indonesia, Kusfiardi merinci utang Indonesia ke China meroket hingga 74% pada 2015. Pada 2014, total utang RI ke China adalah USD 7,87 miliar. Angkanya melesat menjadi USD 13,6 miliar pada 2015. Pada 2016, utang ke China menjadi USD 15,1 miliar di 2016 dan USD 16 miliar per Januari 2018.
"Pemerintah sepertinya abai dengan besarnya beban utang yang ada saat ini, membuat keseimbangan primer APBN mengalami defisit. Pemerintah menggunakan utang baru untuk membayar utang lama yang jatuh tempo. Apakah pemerintah sengaja mewariskan beban bagi rezim berikutnya dengan masalah jebakan utang infrastruktur?" jelas Kusfiardi, Rabu (10/4).
Sebagai perbandingan, CO Founder FINE Institute ini memaparkan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, meninjau ulang dan membatalkan sejumlah proyek untuk mengurangi beban utang. Bahkan Pemerintahan Malaysia akan menegosiasikan ulang proyek Jalur Sutra Maritim China yang disebutnya tidak menguntungkan Malaysia.
Malaysia merupakan salah satu negara yang mendapatkan investasi terbesar dari proyek BRI. Negeri jiran menempati posisi strategis untuk untuk konektivitas perdagangan dari Asia hingga Afrika. Dana sebesar US$34,2 miliar diperuntukkan China membangun infrastruktur BRI di Malaysia.
"Dalam penilaian Mahathir, perjanjian pinjaman China tidak menguntungkan. Selain tidak mempekerjakan warga lokal, China juga tidak berbagi teknologi dengan Malaysia," sambungnya.
Tak hanya Malaysia, Kusfiardi menyebut Filipina tengah meninjau ulang semua kontrak pemerintah, termasuk pinjaman dari China. Fokus yang ingin ditekankan oleh otoritas Filipina ialah perjanjian konsesi dan kontrak pinjaman dengan ketentuan yang tidak menguntungkan Filipina yang mencakup US$12 miliar hingga US$24 miliar dengan beberapa proyek untuk menghapus ketentuan yang tidak menguntungkan bagi Filipina.