Jangan Sampai Jokowi jadi Korban Rayuan Maut seperti Soeharto, Sangat Berbahaya!
"Pak Harto waktu itu sudah benar-benar ingin mundur dan sudah ingin beristirahat, tetapi karena rayuan maut serta mulut manis dari mereka-mereka tersebut, akhirnya Pak Harto menyatakan diri bersedia untuk maju lagi sehingga beliau kembali terpilih menjadi presiden untuk kesekian kalinya," kata Anwar.
Selanjutnya, kata Anwar, terjadilah konflik karena kelompok masyarakat sudah bosan dan kecewa serta menginginkan adanya perubahan. Masyarakat turun ke jalan, yang awalnya jumlahnya sedikit, tetapi akhirnya membesar.
Awal-awalnya, kelompok masyarakat turun berdemonstrasi mengkritik pemerintah karena melihat tingginya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan para aparat pemerintah dan kroni-kroninya.
Tidak membutuhkan waktu lama, gerakan dan kelompok yang mendesak perubahan tersebut membesar hingga mampu menduduki Gedung MPR/DPR dan menuntut supaya Soeharto lengser.
"Seperti itu para tokoh yang tadinya membujuk dan memuji-muji Pak Harto tersebut, secara bersama-sama pada balik kanan dan meminta Pak Harto untuk turun dan mundur. Sebenarnya secara teoritis kalau Pak Harto di kala itu tetap ngotot dan memaksakan keinginannya untuk mempertahankan kekuasannya, tentu masih bisa dengan cara memberangus kekuatan-kekuatan yang melawan dirinya dengan mengerahkan polisi dan tentara," kata dia.
Namun, Soeharto akhirnya menyerahkan kekuasaannya kepada BJ Habibie yang berhasil menstabilkan kembali nilai tukar rupiah yang tadinya anjlok luar biasa.
Peristiwa yang yang terjadi di era Soeharto itu mirip dengan fenomena saat ini.
Sejumlah politisi dan tokoh menganggap rakyat masih membutuhkan Presiden Jokowi, padahal yang bersangkutan sudah menyatakan tegas menolak rencana tiga periode atau tambah masa jabatan presiden.