JK: Kan yang Dibunuh Jenderal-jenderal Kita
jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah Indonesia tenang menyikapi International People's Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional yang digelar para aktivis HAM di Den Haag, Belanda.
Sidang yang diadakan terkait dengan isu korban kekerasan dan pembantaian pada 1965 itu dinilai sama sekali tidak berdasar. Pemerintah pun menyatakan tak perlu menanggapi tuntutan yang ada.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, desakan para aktivis HAM internasional agar Indonesia meminta maaf terkait dugaan pelanggaran HAM berat setelah peristiwa G 30/S PKI pada 1965 salah alamat.
"Masak pemerintah disuruh minta maaf? Kan yang dibunuh jenderal-jenderal kita," ujarnya di Kantor Wakil Presiden kemarin (10/11).
JK mengakui, setelah peristiwa G 30/S PKI, memang terjadi kemelut politik di Indonesia. Namun, dia meminta semua pihak objektif bahwa kemelut tersebut dimulai dari aksi pembunuhan para jenderal angkatan darat yang kini menjadi pahlawan revolusi. "Mereka harus tahu, siapa yang berbuat (lebih, Red) dulu?" katanya.
Sidang Pengadilan Rakyat Internasional 1965 tidak menginduk ke badan-badan resmi sehingga proses maupun putusan sidang tidak punya kekuatan hukum. Namun, penyelenggara berharap putusan dapat digunakan sebagai dorongan moral bagi pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus pembunuhan masal terhadap simpatisan dan pendukung PKI tersebut.
Dalam pembukaan sidang di Den Haag kemarin, Ketua Jaksa Todung Mulya Lubis mengatakan, negara Indonesia secara umum dianggap bertanggung jawab karena adanya sembilan dakwaan.
Antara lain meliputi penghilangan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965. Anggota panitia Joss Wibisono mengatakan, sidang diketuai dua hakim internasional, termasuk seorang hakim dari Afrika Selatan.