Jokowi Diyakini Mampu Bikin Indonesia Berswasembada Pangan
Data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selalu mengimpor beras sejak tahun 2000 hingga 2015 atau selama 15 tahun. Pada 2016 sampai 2017 pemerintah berhenti sementara untuk mengimpor, dan pada 2018 Indonesia kembali mengimpor beras.
Selama 15 tahun tersebut, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 15,39 juta ton dengan volume impor terbanyak pada 2011 sebesar 2,75 juta ton, sedangkan volume terkecil pada 2005 sebesar 189.616 ton. Sehingga, dengan jumlah impor beras tersebut dan ditambah 500.000 ton pada 2018 ini, maka hingga saat ini Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 15,89 juta ton.
Ironisnya, kata Anwar, data perberasan nasional ternyata salah. Menurut BPS, proyeksi produksi beras hingga akhir tahun ini sebanyak 32,42 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibanding penghitungan Kementerian Pertanian, yakni 46,5 juta ton.
BPS pun menghitung potensi produksi gabah kering giling (GKG) hingga Desember 2018 mencapai 56,54 juta ton, jauh di bawah proyeksi Kementan sebanyak 83 juta ton. Data perhitungan BPS dan Kementan soal proyeksi konsumsi saat ini juga berbeda. BPS menghitung konsumsi beras langsung dan tidak langsung mencapai 111,58 kilogram (kg) per kapita per tahun atau sebanyak 29,57 juta ton secara keseluruhan, sementara data Kementan memproyeksi konsumsi sebanyak 33,89 juta ton dengan pertumbuhan penduduk 1,27 persen.
Tak cuma produksi beras, lanjut Anwar, data berbeda juga terjadi di luas lahan sawah baku. Data citra satelit resolusi tinggi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) menunjukkan luas lahan sawah baku saat ini 7,1 juta hektare (ha), sementara data Kementan per September 2018 menunjukkan data luas lahan sawah 8,18 juta ha.
Jokowi, kata Anwar, juga mengakui data produksi beras sudah berantakan sejak 1997. Data tersebut, seperti laporan BPS, yang kemudian membuat pemerintah keliru dalam menentukan kebijakan, dan saat ini sedang dibenahi pemerintahan Jokowi.
Menurut Anwar, pemerintah kini mulai menerapkan data acuan tunggal untuk produksi beras. Data tersebut diambil melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikembangkan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan pemindaian satelit dari LAPAN untuk kemudian diolah BIG.
“Dengan data yang benar, kebijakan yang akan diputuskan pun akan benar pula,” cetus advokat kelahiran Jakarta 1970 ini.