Jumat Balas Dendam
Oleh Dahlan IskanIa pun merogoh saku. Ambil HP. Ia bicara dengan yang disebut Sayed. Tentang pekerjaan yang akan ia lakukan di situ. Lalu menceritakan ada orang Indonesia. Ingin sembahyang.
Setelah mendengar penjelasan yang disebut Sayed ia menepuk bahu saya: "Sembahyangnya nanti pukul 14.30. Anda kembali lagi saja nanti pada jam itu. Jangan tanya-tanya saya. Saya tidak tahu apa-apa.’’
Lalu ia pulang. Meninggalkan saya sendirian di halaman sempit itu.
Saya teringat peris kata-kata si Gendut baik hati. Salat Jumat pukul 14.30? Hah? Salat Jumat aliran apa ini?
Di Indonesia pukul 12.30 sudah selesai. Paling telat, kalau khatibnya egois, pukul 13.00. Tergantung pula jam pergeseran mataharinya.
Jam berapa pun, ini menarik. Setidaknya sudah ada pertanda-pertanda. (Bagi yang suka membaca novel-novel Paulo Coelho tentu tahu, istilah ‘pertanda-pertanda’ itu sangat dalam artinya).
Saya tidak mau balik lagi. Saya akan tunggu di situ saja. Dua jam lagi. Saya harus memanfaatkan pertanda-pertanda itu.
Kalau benar ini yang disebut masjid, tentu boleh masuk. Kenapa tidak. Sudah ada pertanda-pertanda.