Kamp Nauru, Neraka Bocah Imigran di Pasifik Selatan
Bersama ibu, ayah tiri, dan saudarinya, M meninggalkan Iran pada 2014. Saat itu mereka menghindari konflik yang mengancam nyawa mereka.
Kisah M hanyalah satu di antara sekian banyak cerita pilu para pencari suaka di Australia. Meski berstatus pengungsi, pemerintah Australia tidak mau menampung para pencari suaka yang sebagian besar berasal negara konflik tersebut. Para imigran itu ditempatkan di Nauru.
Pulau yang disebut-sebut sebagai republik terkecil dunia itu menampung manusia-manusia perahu, sebutan untuk imigran gelap yang datang ke Australia lewat laut, sejak 2001.
Praktik itu berakhir pada 2007, setelah Nauru panen protes. Tapi, pemerintah Nauru kembali bekerja sama dengan Australia pada era PM Julia Gillard. Sejak 2012, Nauru menampung para pengungsi dan pencari suaka dari Australia.
The Guardian melaporkan bahwa sedikitnya 2 ribu kasus pelecehan terjadi di kamp penampungan di Nauru. Mulai pelecehan dan kekerasan seksual hingga tindakan yang mengarah pada aksi kriminal. Juga, kasus-kasus percobaan bunuh diri. Dalam dokumen setebal 8 ribu halaman yang bocor ke publik tertulis bahwa kasus-kasus itu terjadi selama periode 2013–2015.
Yang menyedihkan, 51 persen kasus itu menjadikan anak-anak sebagai korban. Hal tersebut memancing protes dari aktivis dan LSM HAM. Mereka mendesak pemerintah Australia segera memindahkan 119 pencari suaka anak-anak dari Nauru. Batas waktunya, November 2018.
’’Kami meminta belas kasihan para pemimpin politik untuk ikut menyelesaikan permasalahan ini. Waktu terus berjalan,’’ ujar Direktur Eksekutif World Vision Australia Claire Rogers sebagaimana dilansir BBC.
Tapi, tidak mudah mengetuk hati PM Australia Malcolm Turnbull. Kementerian Imigrasi dan Perlindungan Wilayah Perbatasan Australia malah seperti cuci tangan. Turnbull yang baru saja lolos mosi tidak percaya itu seolah tidak peduli pada nasib para pengungsi dan pencari suaka di sana.