Kanjuruhan dan Itaewon
Oleh: Dhimam Abror DjuaridKomnas HAM mengingatkan tragedi kemanusiaan seperti di Kanjuruhan dan Itaewon bisa terjadi lagi jika tak ada kepatuhan dalam mengelola peristiwa berisiko tinggi.
Beda Korea, beda Indonesia. Ketika kasus Kanjuruhan pecah yang terjadi adalah penyangkalan dan lempar tanggung jawab.
Kala itu Kapolda Jatim Inspektur Jenderal Nico Afinta mengatakan bahwa penggunaan gas air mata adalah tindakan prosedural.
Nico Afinta tidak memahami aturan crowd handling yang menjadi standar FIFA, federasi sepak bola internasional, yang tidak memperbolehkan penggunaan gas air mata dan peluru di dalam stadion.
Setelah mendapat pressure keras dari publik, barulah beberapa hari kemudian Nico dicopot dari jabatannya.
Rekaman-rekaman video dari ponsel para suporter dalam stadion menunjukkan bahwa polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun dan menyebabkan kepanikan yang luar biasa.
Akan tetapi, dalam laporan yang dibuat polisi tidak ada pengakuan bahwa terjadi penembakan gas air mata ke arah tribun.
Dari bukti rekaman dan kesaksian itu tim pencari fakta independen TGIPF maupun Komnas HAM secara terpisah menyatakan gas air mata lah yang menjadi faktor utama terjadinya tragedi.
Sebaliknya, Polri mengeklaim gas air mata bukanlah penyebab kematian massal.