Kapolri dan Komisi III Debat Soal Pemanggilan Paksa KPK
Nah, Tito menambahkan, kalau lihat di KUHAP selama ini tidak mengenal pemanggilan paksa dilakukan oleh DPR. Termasuklah, istilah penyanderaan.
Menurut Tito, selama ini yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian itu tidak dicantum secara eksplisit di sana. “Nah ini menimbulkan keragu-raguan dari kepolisian, menganut KUHAP yang tidak mengenal itu atau ini sudah cukup dan bisa dipraktikkan. Artinya akan ada kekosongan hukum tentang acara itu,” papar Tito.
Dia menegaskan, prinsipnya Polri akan mempertimbangkan dan membicarakan internal apa langkah untuk menyikapi persoalan ini. Bahkan, Polri akan mengundang pakar hukum tata negara maupun pidana dalam rangka menentukan sikap Polri.
“Jangan sampai sikap Polri yang melaksanakan ini justru jadi bumerang dan disalahkan banyak pihak,” tegas Tito.
Namun, Bambang tidak puas. Dia mengatakan, dalam UU jelas tertera bahwa DPR bisa meminta bantuan Polri. “Yang kami sayangkan di UU itu tertera Kepolisian RI. Kalau perintahnya adalah Pamdal (DPR), kami tidak minta tolong Polri. Itu enak, paling kami minta Polri untuk mem-back up,” sindir Bambang.
Dia mengatakan, mungkin saja ini bisa menjadi terobosan. Karena itu, dia meminta Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan yang juga anggota Komisi III DPR Sufmi Dasco Ahmad mempertimbangkan apakah parlemen boleh menggunakan pamdal untuk memanggil paksa. “Tapi kan tidak boleh, karena undang-undangnya Polri,” tegasnya.
Tito mengatakan, yang menjadi persoalan mungkin saat pembuatan UU itu tidak lengkap. Dia menjelaskan, coba saja ada satu ayat atau pasal yang menyampaikan bahwa teknis acara pemanggilan paksa dan penyanderan disesuaikan dengan KUHAP.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa langsung menjawab. Dia menegaskan, ini bukan hal baru. Aturan di UU itu ringkas dan padat. Bahkan, kata dia, pemanggilan paksa pernah dilaksanakan Kapolri Jenderal Sutarman dulu. Jadi, kata dia, kalau Tito menolak, konsistensi Polri perlu dipertanyakan.