Kebal Hukum
Oleh: Dhimam Abror DjuraidPembatalan status kebal hukum, setidaknya sedikit melegakan, meskipun tidak bisa diharapkan akan bisa membongkar praktik penyelewengan dana Covid-19 yang baunya terendus, tetapi buktinya tersembunyi.
Praktik kartel alat-alat kesehatan yang ramai diperbincangkan publik adalah bagian dari bau korupsi yang menyengat. Mafia PCR, mafia karantina, dan mafia-mafia lainnya yang banyak diperbincangkan publik seolah bebas berkeliaran tanpa ada konsekuensi.
Definisi terhadap korupsi yang sempit membuat program pemberantasan korupsi di Indonesia terhambat, kalau tidak berhenti total. Korupsi hanya diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan terjadinya kerugian negara. Tanpa ada kerugian riil terhadap anggaran negara tidak dianggap terjadi korupsi.
Inilah yang menjadi kegelisahan di antara sejumlah aktivis anti-korupsi. Kegelisahan ini pula yang dituangkan B. Herry Priyono yang melakukan studi mendalam dan menulisnya dalam buku ‘’Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi’’ (2018).
Priyono memulai dengan kritik terhadap miskinnya definisi korupsi dan bias dari definisi itu. Korupsi seharusnya tidak dilihat dari definisi, tetapi dikenali dari ciri-ciri tindakannya. Definisi yang sempit akan mempersempit makna tindakan korupsi.
Praktik suap menyuap di kalangan bisnis swasta tidak masuk kategori korupsi kalau tidak ada keruigian negara. Seorang kepala polisi yang meminta layanan seksual sebagai imbalan pembebasan pidana tidak dijerat dengan pasal korupsi.
Upaya pelemahan undang-undang anti-korupsi yang disetujui secara mulus oleh para anggota parlemen tidak dianggap tindakan korup, karena tidak ada kerugian keuangan negara.
Upaya penyingkiran sejumlah karyawan KPK dengan berbagai tes rekayasa tidak dianggap sebagai tindakan korupsi, karena tidak ada kerugian negara. Penyalahgunaan wewenang, abuse of power, dengan memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan layanan ekstra bukan dianggap korupsi.