Kecurangan di Pilkada Kalteng Fundamental, MK Diminta Abaikan Ambang Batas
jpnn.com, JAKARTA - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Ben Brahim-Ujang Iskandar meminta Mahkamah Konstitusi mengesampingkan penerapan ambang batas sesuai Peraturan MK Nomor 6 tahun 2020 karena ditemukannya kecurangan bersifat fundamental.
Kuasa hukum Ben Brahim-Ujang Iskandar, Ramdansyah menyampaikan permintaan tersebut sebagai tanggapan terhadap jawaban KPU Provinsi Kalteng dan pihak terkait pada sidang di Mahkamah Konstitusi.
“Kami meminta MK mengesampingkan penerapan ambang batas karena ada kecurangan yang terjadi dan sifatnya fundamental,” kata Ramdansyah.
Sebelumnya, KPU Kalteng mengatakan Ben Brahim-Ujang Iskandar tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan gugatan sengketa pilkada.
Hal itu, kata kuasa hukum KPU Kalteng, karena selisih perolehan suara pemohon dan pihak terkait tidak memenuhi syarat ambang batas 1, 5 persen sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 158 ayat 1 UU Pilkada.
Menanggapi itu, Ramdansyah menyebutkan tiga contoh putusan MK yang mengabaikan selisih ambang batas. Pertama, Putusan MK Nomor 42/PHP.BUP-XV/2017 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya 2017.
MK tidak menggunakan penerapan ambang batas dan memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang dalam Pilkada Kabupaten Puncak Jaya ketika itu.
Kedua, Putusan MK Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen 2017. MK menilai belum terdapat rekapitulasi perolehan suara dari masing-masing pasangan calon, sehingga tidak dapat digunakan ketentuan ambang batas dalam perkara ini.