Kegaduhan Lanjut 2016 jika Jokowi Marahnya Telat Lagi
jpnn.com - JAKARTA - Lembaga riset dan kajian terhadap beragam kebijakan publik dan persoalan kebangsaan, Founding Father House (FFH) mencatat, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di tahun 2015 sangat lambat.
Dian Permata selaku peneliti FFH menyebutkan, Jokowi-JK terlalu berkompromi dengan partai politik jika berkaitan dengan kebijakan yang hendak dikeluarkannya.
"Kami menyerap apa yang ada di benak persepsi publik. Sepanjang tahun 2015, masyarakat melihat pemerintahan Jokowi-JK rentan diintervensi. Sehingga masyarakat menyimpulkan, Jokowi-JK tidak bisa bersikap leluasa mengambil kebijakan," ujarnya saat diskusi dengan mahasiswa Universitas Islam Bandung dengan tema Persepsi dan Harapan Publik di 2016 di sebuah restoran, kawasan Senayan, Kamis, (24/12).
Menurut Dian, masyarakat juga jenuh dengan kegaduhan politik tiada henti. Mulai soal hubungan Jokowi dengan JK, perseteruan di internal kabinet, serta di Senayan dimana politisi gaduh rebutan kursi.
"Apa yang terlintas di benak publik mengenai politik adalah saling hujat, merasa yang paling benar, dan hanya mementingkan diri sendiri. Publik sebenarnya sudah capek," jelasnya.
Untuk mengakhiri kegaduhan, lanjutnya, publik berharap adanya sikap tegas Presiden Jokowi. Publik menilai, kegaduhan kerap berlarut karena presiden tidak tegas.
Dia memberi contoh kasus pencatutan nama Jokowi dalam rekaman Papa Minta Saham. Dian menilai presiden lambat merespon.
"Seperti fenomena kasus MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Padahal kasus pencatutan namanya dalam rekaman Papa Minta Saham sudah lama terjadi. Tapi mengapa baru dua minggu setelahnya, Pak Jokowi baru marah. Masyarakat menilai itu, bukan tindakan seperti orang nomor satu di Indonesia," terangnya.